Search for:
  • Home/
  • OPINI/
  • Meninjau Dugaan Pengurangan Takaran Pada Produk Minyakita dalam Kacamata Islam
Meninjau Dugaan Pengurangan Takaran Pada Produk Minyakita dalam Kacamata Islam

Meninjau Dugaan Pengurangan Takaran Pada Produk Minyakita dalam Kacamata Islam

Sinarpos.com

Sinarpos.com – Setelah adanya dugaan pertamax oplosan, kini produk minyakita oplosan pun menyita perhatian publik setelah ditemukannya dugaan kecurangan pada takaran minyak goreng dalam kemasan yang tidak sesuai takaran pada label kemasan.

Dilansir dari tirto.id (8/3), Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman, minta tiga produsen perusahaan minyakita disegel dan ditutup jika terdapat bukti pelanggaran, setelah produk mereka ditemukan tidak sesuai takaran yang dijual di pasar Lenteng Agung, Jakarta Selatan.

“Volumenya tidak sesuai, seharusnya 1 liter tetapi hanya 750 hingga 800 mililiter. Ini adalah bentuk kecurangan yang merugikan rakyat terutama di bulan ramadhan saat kebutuhan bahan pokok meningkat”, Kata Mentan.

Islam menetapkan bahwa jual beli dapat dianggap sah, apabila memenuhi syarat dan rukun yang baik yang terkait dengan akad maupun mengenai objek yang diperjualbelikan. Sebaliknya jual beli yang tidak memenuhi syarat terjadinya akad maka akad tersebut menjadi fasad.

Bermuamalah harus sesuai dengan etika bisnis Islam. Adanya minyakita oplosan hingga takaran yang tidak sesuai dijual dipasaran. Hal ini menunjukkan bahwa negara gagal dalam mengatasi kecurangan para korporat yang berorientasi untung. Inipun membuktikan bahwa distribusi kebutuhan pangan ada ditangan korporasi.

Islam melarang semua cara dan metode penipuan yang dapat merugikan orang secara ilegal, baik dalam penjualan ataupun dalam transaksi lainnya. Karena hal tersebut merupakan bentuk kejahatan dan penyimpangan dari kebajikan dan kehormatan yang harus ditunjukkan oleh seorang muslim kepada orang lain.

Larangan dan hukuman ini menunjukkan bahwa kecurangan, penipuan, dan semua cara curang itu benar-benar dilarang. Baik dalam bentuk penjualan ataupun dalam transaksi lainnya.

Sedangkan faktanya saat ini negara hanya hadir untuk menjamin bisnis yang kondusif bagi para kapital. Bahkan tidak ada sanksi tegas untuk menjerakan jika mendapati perusahaan yang melakukan kecurangan.

Dibawah penerapan sistem ekonomi kapitalisme dengan asas liberalismenya, para korporat mendapat karpet merah untuk menguasai rantai distribusi pangan (hulu hingga hilir). Negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator. Sedangkan dalam Islam minyak goreng merupakan salah satu komoditas strategis yang mestinya dikelola oleh negara, Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah SAW,”Kaum muslim berserikat dalam tiga hal, air,padang rumput (termasuk ladang kelapa sawit bahan minyak goreng) dan api.” Hal ini menunjukkan bahwa kekayaan adalah milik umum yang wajib dikelola oleh negara.

Sementara dalam sistem kapitalisme yang diterapkan negeri ini semua itu diserahkan kepada konglomerat yang telah menguasai jutaan hektare ladang sawit begitupula dengan pabrik minyak sawitnya juga sudah mereka kuasai.

Maka dengan skema yang menyimpang inilah mereka dengan mudah memonopoli perdagangan. Baik dari tekhnis operasionalnya, distribusinya, isinya, dan harganya. Khususnya minyak goreng.

Tidak heran ketika minyak goreng yang sudah dikuasai swasta ini sepenuhnya akan mengikuti mekanisme pasar bebas yang harganya tidak bisa diatur oleh peraturan negara maupun undang – undang. Sekaligus menjadi habitat subur bagi para kartel atau mafia minyak goreng dalam melakukan berbagai manipulasi untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Paradigma kapitalisme menjadikan negara abai terhadap tanggung jawabnya sebagai pengurus dan pelayan umat. Padahal Islam menetapkan pengaturan hajat hidup rakyat berada dibawah kendali pemerintah. Sebab pemimpin adalah raa’in atau pengurus umat, dan paradigma dalam mengurus rakyat adalah pelayanan bukan bisnis atau keuntungan.

Pemenuhan kebutuhan pokok (berupa pangan) , menjadi tanggung jawab negara dengan berbagai mekanisme yang sesuai syariat dan tidak boleh diserahkan kepada korporasi hulu hingga hilir.

Selain menjaga pasokan produk pangan seperti minyakita, negara juga wajib mengawasi rantai distribusi dan menghilangkan segala penyebab distorsi pasar.

Sedangkan dalam sistem ekonomi Islam, Qadhi Hisbah akan melakukan inspeksi pasar jika ditemukan kecurangan. Seperti kasus minyakita oplosan dan negara pun akan memberikan sanksi tegas kepada para pelaku kecurangan tersebut. Bahkan pelaku bisa dilarang untuk tidak melakukan usaha produksi hingga perdagangan.

Dengan demikian hanya Islam satu – satunya solusi saat ini yang dapat menyelesaikan semua problematika umat yang menyusahkan rakyat.

Wallahu a’lam bissowab.

Oleh : Eka Rahayu (Pegiat Literasi)


Eksplorasi konten lain dari SINARPOS.com

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.