Jiwa Jurnalis yang Sesungguhnya Yaitu Mengutamakan Masyarakat yang Ditindas Oknum Menyalahgunakan Jabatannya Serta Menyelewengkan Anggaran Pemerintah !!! Kalau Bukan Kita Siapa Lagi
Redaksi//SINARPOS.com Senin, 06, Maret, 2025
Kabupaten pasuruan kecamatan Grati Seorang jurnalis harus mengerti dalam hal pekerjaannya, bukan semata-mata mencari ketenaran namanya dan medianya, tetapi yang sesungguhnya hati dan jiwanya untuk membantu rakyat Indonesia terutama masyarakat Kabupaten Pasuruan supaya membantu masyarakat mendapatkan haknya dari oknum-oknum menyalahgunakan jabatannya, serta anggaran bantuan Pemerintah baik APBN Dan APBD serta (DD) Dana Desa yang seharusnya dikawal supaya tepat sasaran.
Tetapi sangatlah sedikit oknum jurnalis memahami pekerjaannya, bahkan yang lebih parahnya seorang oknum jurnalis dan media, ikut serta dengan oknum-oknum pejabat nakal serta kepala sekolah untuk menutupi Kejahatan Korupsinya. Yang lebih parahnya lagi rela melawan rekan-rekan sesama profesi untuk membantu oknum tersebut. Hanya karena pundi-pundi rupiah dan Alasannya simpel SEKELE.
Maka Saya menulis artikel ini sebagai sebuah refleksi dan perenungan diri secara mendalam bahwa jurnalisme itu bukan sekadar profesi. Jurnalisme adalah panggilan jiwa, menuju jalan sunyi yang menuntut keberanian, kejujuran, dan kepekaan nurani. Dalam aktivitas kesibukan menggali informasi, menyusun berita, mengambil gambar dan mendengar keluh kesah rakyat kecil, dan menyaksikan ketidakadilan di depan mata, seorang jurnalis belajar dengan kepekaan yang tajam bahwa tugasnya bukan hanya melaporkan fakta, tetapi juga memahami makna di balik setiap fakta dan peristiwa.
Di tengah hiruk-pikuk dunia yang bergerak cepat, jurnalis terkadang sering kali berdiri sendiri dalam keheningan. Keheningan itu bukan tanda ketidakpedulian, tetapi ruang refleksi—tempat di mana hati berbicara lebih jujur daripada pena, dan empati menjadi lebih nyata dari sekadar kata-kata. Melihat seorang petani kehilangan tanahnya, seorang ibu menangisi anaknya yang tak mendapatkan keadilan, atau seorang nelayan yang bertahan di tengah ancaman industri besar, seorang jurnalis tahu bahwa yang ia catat bukan sekadar peristiwa, tetapi denyut kehidupan yang sesungguhnya.
Namun, tidak semua jurnalis mampu bertahan di jalan sunyi ini. Godaan pragmatisme, kepentingan politik, dan tekanan ekonomi sering kali menguji nurani. Ada yang memilih jalan mudah, menukar kebenaran dengan keuntungan, atau membiarkan suara mereka dibeli oleh kepentingan tertentu. Tapi bagi mereka yang tetap berpegang pada idealisme, jurnalisme tetap menjadi ladang perjuangan—sebuah pengabdian untuk menyuarakan yang tak terdengar, memperjuangkan yang tak berdaya, dan menulis bukan untuk sekadar dibaca, tetapi untuk menyentuh hati dan membangkitkan kesadaran.
Di balik setiap berita yang lahir dari kejujuran, ada nurani yang tetap hidup. Di setiap lembaran laporan yang ditulis dengan empati, ada kepekaan yang terus terasah. Dan dalam sunyi, jurnalis sejati menemukan makna: bahwa suara mereka bukan sekadar kata-kata, melainkan lentera kecil yang menerangi dunia.
Jurnalisme bukan sekadar profesi. Ia adalah panggilan jiwa, jalan sunyi yang menuntut keberanian, kejujuran, dan kepekaan nurani. Dalam kesibukan menyusun berita, mendengar keluh kesah rakyat kecil, dan menyaksikan ketidakadilan di depan mata, seorang jurnalis belajar bahwa tugasnya bukan hanya melaporkan fakta, tetapi juga memahami makna di baliknya.
Ia merasakan denyut kehidupan lebih tajam, melihat penderitaan lebih dekat, dan memahami empati dengan lebih mendalam. Karena sejatinya, jurnalisme adalah suara keadilan yang hanya bisa ditemukan oleh mereka yang tetap menjaga kejernihan hati dan ketulusan perjuangan. (Tim/Red)
Eksplorasi konten lain dari SINARPOS.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.