
SINARPOS.com | SUMENEP, Jatim – Kasus kematian ibu melahirkan beserta bayinya di Kabupaten Sumenep memicu kemarahan publik dan mendorong Komisi IV DPRD Sumenep mendesak investigasi tuntas. Peristiwa yang menimpa Sefti Wilda (20) dari Desa Tengiden, Batuputih, pada 14-15 November 2025 ini mencuat dugaan keras malapraktik dan kemungkinan kongkalikong antara Bidan berinisial R dengan RSIA Esto Ebhu.
Anggota Komisi IV DPRD Sumenep, Dr. H.M. Asy’ari Muthhar, M.Fil.I, menegaskan pihaknya tidak akan tinggal diam melihat hilangnya dua nyawa dalam kondisi yang penuh tanda tanya.
“Kami menuntut penjelasan detail dari awal hingga akhir. Bagaimana mungkin persalinan yang seharusnya normal berakhir dengan kematian bayi di tempat praktik bidan, lalu sang ibu menyusul meninggal dalam hitungan jam setelah dirujuk? Ini bukan sekadar kelalaian medis biasa,” tegas Asy’ari dalam pernyataannya, Senin (17/11/2025).
Komisi IV DPRD Sumenep telah meminta Dinas Kesehatan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (Dinkes P2KB) Kabupaten Sumenep untuk menggelar hearing melibatkan semua pihak terkait.
“Kami akan mengorek keterangan dari Bidan R, manajemen RSIA Esto Ebhu, dan keluarga korban. Protokol medis apa yang diterapkan? Kapan seharusnya rujukan dilakukan? Mengapa baru dirujuk setelah bayi meninggal? Semua harus dijawab,” tambah Asy’ari.
Menurutnya, kejadian ini menyangkut keselamatan jiwa dan hak dasar masyarakat untuk mendapat layanan kesehatan yang aman.
“Kalau dibiarkan, ini akan terulang lagi. Kami akan pastikan Dinkes memproses kasus ini secara serius dan transparan, tidak ada yang dilindungi,” tegasnya.
Sementara tim media menemui bidan R ditempatkan kerjanya Puskesmas Pandian, Senin, 17 November tetap tak membuahkan hasil, R beralibih ada janji dengan salah satu Kabid Dinkes.
“Maaf saya terburu-buru ada janji dengan pak kabid dinas kesehatan, pak haji Nurinsan,” ucapanya langsung tanpa basah – basih meniggalkan teman – teman media
Tragedi bermula Jumat subuh, 14 November 2025, ketika Sefti Wilda datang ke tempat praktik Bidan R di Jalan Trunojoyo X/2, Desa Kolor, Sumenep, untuk melahirkan anak pertamanya.
Yang terjadi justru mimpi buruk: kepala bayi terjepit di jalan lahir dalam waktu lama, terlahir mati dengan tubuh membiru, diduga akibat menelan cairan ketuban atau cairan kimia berlebih. Sore harinya, kondisi Sefti memburuk dan baru dirujuk ke RSIA Esto Ebhu. Sabtu pagi, 15 November 2025, ia meninggal dunia.
Tokoh masyarakat Kecamatan Batuputih yang menjadi saksi mata mengungkap betapa mengerikannya proses persalinan tersebut.
“Kepala bayinya tersangkut lumayan lama. Bayinya keluar dalam kondisi biru. Ini jelas ada yang salah dalam penanganan,” ungkapnya kepada media, Minggu (16/11/2025).
Yang membuat kasus ini semakin mencurigakan adalah pola rujukan yang tidak lazim:
1. Penundaan Rujukan Fatal, Mengapa Bidan R tidak segera merujuk saat melihat tanda-tanda komplikasi, padahal UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan Pasal 46 ayat (1) mewajibkan bidan merujuk pasien yang mengalami komplikasi?
2. Rujukan Selektif, Mengapa pasien hanya dirujuk ke RSIA Esto Ebhu, bukan ke rumah sakit umum daerah yang mungkin lebih dekat dan lebih lengkap fasilitasnya?
3. Kompak Bungkam, Mengapa Bidan R selalu menghindar dari media dan tidak merespons pertanyaan media dan dr. Moh. Ibnu Hajar (Direktur RSIA Esto Ebhu) justru kabur saat dikonfirmasi langsung di halaman rumah sakit pada Sabtu (15/11/2025)?
Komisi IV DPRD Sumenep mencurigai adanya sistem rujukan tertutup yang menguntungkan pihak tertentu tanpa mengutamakan keselamatan pasien.
“Kalau memang ada hubungan bisnis atau kesepakatan rujukan antara bidan dan rumah sakit yang mengabaikan protokol medis demi keuntungan, ini masuk kategori malapraktik terorganisir. Ini kejahatan korporasi yang harus dihukum berat,” ujar Asy’ari.
Kasus ini melanggar berbagai peraturan perundang-undangan, ancaman berlapis untuk pelaku:
UU No. 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan: – Pasal 79: Pidana 3 tahun penjara atau denda Rp 300 juta bagi bidan yang tidak melaksanakan rujukan hingga mengakibatkan kematian
UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan: – Pasal 190: Pidana maksimal 10 tahun penjara atas kelalaian tenaga kesehatan yang mengakibatkan kematian
UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit:
– Pasal 32 ayat (1): Rumah sakit wajib memberikan informasi yang benar tentang pelayanan – Pasal 62: Pidana maksimal 5 tahun atas pelanggaran standar pelayanan
KUHP: – Pasal 359: Kelalaian menyebabkan mati (pidana maksimal 5 tahun) – Pasal 55: Turut serta melakukan tindak pidana (jika terbukti ada kongkalikong)
Bidan R tidak merespons serangkaian pertanyaan yang dikirim via WhatsApp, termasuk: – Kapan tepatnya komplikasi terdeteksi? – Mengapa rujukan baru dilakukan setelah bayi meninggal? – Apakah ada pencatatan medis lengkap? – Apakah keluarga diberikan informed consent?
Sementara itu, dr. Moh. Ibnu Hajar memilih kabur tanpa memberikan penjelasan apapun tentang: – Kondisi pasien saat tiba di RSIA Esto Ebhu – Upaya medis yang dilakukan – Penyebab kematian berdasarkan visum et repertum
Bahkan bidan RSIA Esto Ebhu yang ditemui media tidak berani bicara dengan alasan “ada kuasa hukum” dan mengarahkan ke direktur yang justru menghilang.
Komisi IV DPRD Sumenep mendesak tiga institusi untuk bertindak cepat:
1. POLRES SUMENEP – Buka penyidikan pidana segera – Sita rekam medis Bidan R dan RSIA Esto Ebhu – Investigasi hubungan bisnis antara kedua pihak – Lakukan visum et repertum untuk menentukan penyebab kematian pasti
2. DINKES P2KB KABUPATEN SUMENEP – Bekukan izin praktik Bidan R selama investigasi – Audit dokumen rujukan Bidan R ke RSIA Esto Ebhu 6 bulan terakhir – Evaluasi kelayakan operasional RSIA Esto Ebhu
3. IBI, IDI, dan KARS – Gelar sidang Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) – Cabut STR jika terbukti bersalah – Blacklist pelaku malapraktik sistemik
Kebungkaman adalah pengakuan
“Sefti Wilda tidak mati karena takdir. Dia mati karena sistem yang gagal dan kemungkinan besar karena praktik bisnis yang menempatkan uang di atas nyawa. Kami tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan,” tegas Asy’ari.
Dewan mengingatkan bahwa diam dan menghilang bukan solusi. “Ini bukan hanya soal hukum, tapi soal kemanusiaan. Dua keluarga hancur. Kalau mereka tidak bersalah, mengapa kabur? Mengapa tidak memberikan penjelasan?”
Media ini telah memberikan kesempatan hak jawab kepada Bidan R (tidak ada respons) dan dr. Moh. Ibnu Hajar (menolak memberikan keterangan). Pintu klarifikasi tetap terbuka sesuai prinsip praduga tak bersalah.






