
Sinarpos.com
Pesisir Barat – Revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 Tahun 2025 terus menjadi bara yang menyala di tingkat desa. Di Kabupaten Pesisir Barat, kegelisahan berubah menjadi penolakan terbuka.
Edison, Plt Ketua Apdesi Kabupaten Pesisir Barat, menyampaikan sikap tegasnya ” aturan ini bukan hanya bermasalah, tetapi telah membawa desa-desa masuk ke dalam situasi krisis administrasi dan finansial.
Edison mengatakan bahwa perubahan terhadap PMK 108/2024 dilakukan tanpa sosialisasi dan diberlakukan dengan tenggat waktu yang tidak manusiawi.
“Desa dipaksa mengikuti aturan baru yang diumumkan di akhir tahun, sementara sanksinya langsung memengaruhi pelayanan masyarakat. Ini menyulitkan desa secara keseluruhan,” ujarnya.
51 Pekon Terhenti, Setengah Penduduk Pesisir Barat Terdampak
Di Pesisir Barat terdapat 51 pekon yang belum salur Dana Desa tahap II. Angka ini bukan sekadar statistik. Di baliknya, Edison menyebut setengah dari total penduduk kabupaten ikut terdampak karena pelayanan publik, insentif kader, hingga pembangunan prioritas desa terhenti total.
“Selama tahap II belum terealisasikan, banyak desa memakai dana pribadi untuk menalang kebutuhan operasional. Ada kader posyandu, guru ngaji, kader kesehatan, RT, penggali makam hingga perangkat desa lainnya yang harus diberi insentif agar pelayanan tetap berjalan,” ungkapnya.
Desa bahkan terdorong untuk menalangi anggaran yang seharusnya berasal dari pemerintah pusat.
“Ada peratin yang sudah menalangi puluhan hingga ratusan juta rupiah demi pelayanan desa tetap berjalan. Kalau ditotal dari seluruh desa, jumlahnya sangat besar. Ini kerugian nyata yang muncul hanya karena perubahan aturan yang mendadak,” tegas Edison.
Ia menyebut kondisi tersebut sebagai situasi yang “mengorbankan masyarakat secara langsung”, karena pembangunan fisik pun macet. Jalan usaha tani, drainase, perbaikan fasilitas publik, hingga penyusunan perencanaan desa terpaksa ditunda.
Koperasi Merah Putih: Syarat Baru yang Tidak Realistis
Salah satu yang paling disorot Edison adalah kewajiban pemenuhan kelengkapan Koperasi Merah Putih (KMP) sebagai syarat penyaluran Dana Desa. Menurutnya, aturan baru ini mengabaikan kerja keras desa yang selama ini membangun kelembagaan ekonomi secara bertahap.
“Kami sudah membentuk KMP, kami sudah mengikuti seluruh prosedur, tapi kini muncul syarat baru yang tidak mempertimbangkan proses panjang yang telah dilakukan desa,” kata Edison.
Ia menyebut kewajiban itu sebagai kebijakan yang “mengabaikan realitas di lapangan” dan tidak memberikan waktu adaptasi yang wajar.
Pasal 29B: Frasa Ambigu yang Menjerat
Ayat 1 menyatakan bahwa Dana Desa tahap II ditunda apabila persyaratan penyaluran tidak dipenuhi sebelum 17 September 2025. Masalahnya, aturan ini baru diumumkan 25 November, sehingga desa “dipaksa memenuhi aturan yang sudah lewat”.
“Ini aturan yang berlaku surut. Desa tidak mungkin mengejar persyaratan yang deadlinenya sudah terlewati sebelum aturan itu disampaikan,” ujar Edison.
Ia menilai aturan tersebut memukul kesiapan desa tanpa memberikan ruang transisi yang wajar.
Polemik lain muncul dari ayat 3, yang menyatakan bahwa Dana Desa dapat kembali disalurkan setelah bupati atau wali kota menyampaikan persyaratan penyaluran sesuai batas waktu pada Pasal 26 ayat (1) huruf b. Namun batas waktu tersebut tidak disebutkan secara eksplisit di dalam aturan terbaru.
Menurut Edison, frasa ambigu ini berubah menjadi jerat bagi daerah.
“Kalau tidak ada batas waktu yang jelas, bagaimana daerah bisa memastikan prosesnya selesai? Ini menimbulkan ketidakpastian yang merugikan desa,” ujarnya.
Ia menilai ketentuan tersebut membuka ruang multitafsir dan memungkinkan terjadinya penundaan sepihak yang semakin mempersulit penyaluran Dana Desa.
Ayat 7 menyatakan bahwa apabila Dana Desa tahap II tidak tersalurkan sampai akhir tahun anggaran, maka dana tersebut tidak akan disalurkan pada tahun berikutnya.
Bagi desa, ini adalah pasal yang paling mengancam.
“Kalau dana desa hangus, apa yang terjadi dengan insentif kader? Apa yang terjadi dengan pembangunan yang sudah direncanakan? Ini akan memukul masyarakat,” ujar Edison.
Ia menegaskan bahwa ketentuan tersebut sama saja menempatkan desa dalam “jebakan administrasi yang tidak mungkin dipenuhi” karena aturan berubah mendadak.
Mengumpulkan Perlawanan: Apdesi Lampung Bersiap Bergerak
Edison menyampaikan bahwa pada Senin mendatang, seluruh DPC Apdesi se-Lampung dipanggil oleh DPD Apdesi Provinsi Lampung untuk mengikuti rapat terbatas di Korpri Bandar Lampung.
Pertemuan ini bertujuan merumuskan langkah bersama menghadapi aturan yang dinilai merusak tatanan pemerintahan desa.
“Kami berharap pertemuan ini menghasilkan solusi konkret agar Dana Desa tahap II 2025 bisa tersalurkan seperti biasanya. Desa tidak boleh dibiarkan berjalan tanpa kepastian anggaran,” ujarnya.
Ajakan ke DPRD: Jangan Diam
Apdesi Kabupaten Pesisir Barat juga mengajak DPRD Kabupaten Pesisir Barat untuk ikut bergerak menyampaikan aspirasi masyarakat desa ke pemerintah pusat.
“Ini bukan hanya soal desa, tetapi soal kehidupan masyarakat. Aturan ini harus diperbaiki secepatnya agar roda pemerintahan desa tidak lumpuh dan ekonomi masyarakat tidak makin terpuruk,” tegas Edison.
Ia menekankan bahwa pelayanan publik tidak boleh terhenti hanya karena revisi mendadak yang tidak mempertimbangkan kesiapan teknis desa.
Desakan Revisi: Untuk Menghentikan Kerusakan Lebih Besar
Edison menegaskan bahwa desa-desa tidak menolak perubahan aturan, tetapi meminta agar regulasi dibuat dengan proses yang tepat.
“Kalau sosialisasi dilakukan dua atau tiga bulan sebelumnya, desa bisa menyesuaikan. Yang jadi masalah adalah aturan muncul di penghujung tahun dan langsung diberlakukan. Itu yang membuat kami keberatan,” katanya.
Hingga kini, belum ada penjelasan resmi dari Kementerian Keuangan mengenai polemik yang semakin membesar ini.






