PT Pasangkayu Dilaporkan ke Kejaksaan Agung RI Terkait Perambahan Hutan dan Penyerobotan Lahan
SINARPOS.com – Pasangkayu, Sulawesi Barat || PT Pasangkayu, anak perusahaan dari PT Astra Agro Lestari, dilaporkan ke Kejaksaan Agung Republik Indonesia (RI) terkait dugaan perambahan kawasan hutan dan penyerobotan lahan melebihi batas Hak Guna Usaha (HGU).
Laporan tersebut disampaikan beserta surat dan alat bukti langsung ke Kantor Kejaksaan Agung RI, yang menggambarkan adanya dugaan praktik mafia tanah dan hutan yang belum tersentuh hukum di Kabupaten Pasangkayu.
Pelapor juga menduga adanya keterlibatan oknum-oknum tertentu di Kabupaten Pasangkayu yang diduga menjadi backing bagi perusahaan tersebut.

Dedi, aktivis yang juga merupakan inisiator dari PEOPLES LETTER, menjelaskan bahwa pelaporan ini bertujuan untuk memperjuangkan keadilan ekologis dan menyelamatkan sisa-sisa hutan yang masih ada di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat.
“Iya benar, surat sudah disampaikan langsung di Kantor Kejaksaan Agung RI. Kami berharap laporan ini mendapat perhatian serius dari aparat penegak hukum,” ujar Dedi melalui pesan WhatsApp yang diterima Tim Media.
Peran masyarakat dalam melindungi kawasan hutan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 69 ayat (1) menyebutkan bahwa masyarakat memiliki kewajiban untuk turut memelihara dan menjaga kawasan hutan dari gangguan dan perusakan.
Selain itu, Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.56/Menhut-II/2014 juga menetapkan bahwa masyarakat adalah mitra polisi kehutanan dalam melaksanakan pengamanan hutan. Dalam konteks ini, masyarakat berperan penting dalam menjaga kelestarian hutan melalui berbagai upaya, seperti menanam pohon, tidak membakar hutan, dan melaporkan praktik illegal logging.
Di Kabupaten Pasangkayu, terdapat dugaan bahwa PT Pasangkayu telah merambah kawasan hutan.
Dalam kawasan perkebunan kelapa sawit PT Pasangkayu, ditemukan tiga pos kehutanan yang berada di kawasan yang diduga masuk dalam kawasan hutan.
Bahkan, beberapa pohon kelapa sawit yang ditanam oleh perusahaan tersebut ditemukan telah diberi tanda tulisan “Hutan Lindung,” yang memperkuat dugaan bahwa perusahaan ini telah melanggar aturan yang ada.
Pelanggaran Hukum oleh PT Pasangkayu
Selain dugaan perambahan hutan, PT Pasangkayu juga diduga melanggar Pasal 98 Jo Pasal 116 ayat (1) huruf a UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), yang mengancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar.
Dalam pasal 119 UU tersebut, ada ketentuan tambahan pidana bagi korporasi yang melakukan pelanggaran, salah satunya berupa pemulihan lingkungan yang dirusak oleh tindak pidana tersebut.
Kelompok masyarakat Kabupaten Pasangkayu, bersama dengan aktivis pemerhati lingkungan, mendesak aparat penegak hukum untuk melakukan pemeriksaan secara komprehensif terhadap izin yang dimiliki oleh PT Pasangkayu.
Mereka menuntut agar perusahaan tersebut bertanggung jawab atas kerusakan yang telah terjadi pada kawasan hutan dan lahan yang bukan merupakan bagian dari kawasan yang dilepaskan untuk konsesi perkebunan.
Kronologi Izin PT Pasangkayu
PT Pasangkayu mengajukan permohonan pelepasan kawasan hutan yang terletak di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Selatan, pada 14 April 1987 dan 14 April 1992. Permohonan tersebut disetujui oleh Menteri Kehutanan pada 26 Juli 1990 dan 13 Februari 1993, dengan alasan kawasan tersebut termasuk dalam hutan produksi.
Namun, izin pelepasan kawasan hutan secara resmi diberikan pada tahun 1996 melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 98/Kpts-II/1996.
Keputusan ini memberikan izin pelepasan kawasan hutan seluas 5.008 hektar untuk budidaya kelapa sawit oleh PT Pasangkayu.
Namun, dalam pelaksanaan di lapangan, PT Pasangkayu dilaporkan telah menggarap lahan yang seharusnya tidak termasuk dalam kawasan yang dilepaskan, seperti lahan yang sudah digarap oleh masyarakat setempat.
Banyak lahan yang telah ditanami tanaman sagu, coklat, jeruk, pisang, dan padi ladang, yang menjadi mata pencaharian bagi masyarakat. Meskipun izin pelepasan kawasan hutan baru keluar pada tahun 1996, PT Pasangkayu sudah mulai menggarap lahan tersebut sejak 1990, yang jelas melanggar ketentuan hukum yang ada.
Tuntutan Masyarakat
Masyarakat Kabupaten Pasangkayu menuntut agar PT Pasangkayu mengembalikan sebagian lahan yang telah dirampas dari mereka.
Mereka mendesak agar 748 hektar lahan yang tidak termasuk dalam kawasan yang dilepaskan oleh Menteri Kehutanan dikembalikan kepada masyarakat, atau setidaknya 10% dari total area di luar HGU (Hak Guna Usaha).
Selain itu, masyarakat juga mendesak agar PT Pasangkayu dijerat dengan hukum lebih berat sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Berdasarkan pasal-pasal dalam undang-undang tersebut, perusahaan yang terbukti melanggar dapat dijatuhi hukuman penjara antara 8 hingga 15 tahun serta denda yang sangat besar, mulai dari Rp 10 miliar hingga Rp 100 miliar.
Perlindungan terhadap kawasan hutan dan hak masyarakat yang telah lama mengelola lahan menjadi isu penting dalam pembangunan berkelanjutan.
Masyarakat Pasangkayu terus berjuang untuk mendapatkan kembali hak kelola mereka yang selama ini dirampas oleh korporasi besar seperti PT Pasangkayu.
Aktivis dan masyarakat setempat berharap agar laporan mereka ke Kejaksaan Agung dapat membuka jalan untuk penegakan hukum yang adil dan pemulihan lingkungan yang telah rusak akibat praktik yang tidak sah.
Kasus yang melibatkan PT Pasangkayu ini menunjukkan betapa pentingnya keadilan ekologis dan perlindungan terhadap hak masyarakat lokal yang bergantung pada sumber daya alam untuk kehidupan mereka.
Pelaporan ke Kejaksaan Agung RI menjadi langkah awal dalam memperjuangkan keadilan bagi masyarakat yang dirugikan, serta untuk menanggulangi praktik perusakan lingkungan yang dapat merugikan generasi mendatang.
**Tim investigasi SINARPOS.com Pasangkayu/Sulbar
Eksplorasi konten lain dari SINARPOS.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.