
Sinarpos.com
Gorontalo — Aroma busuk dugaan negosiasi di balik kematian dua warga akibat aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Bulangita, Kecamatan Marisa, Kabupaten Pohuwato, kian menyengat publik. Dua warga Pohuwato dilaporkan meninggal dunia di lokasi tambang ilegal tersebut pada pekan lalu, namun hingga kini Polres Pohuwato belum juga menetapkan pemilik lokasi sebagai tersangka, Kamis (06-11-2025).
Nama Ferdi Mardain kembali mencuat ke permukaan. Ia diduga menjadi poros transaksi gelap yang berujung pada dugaan pemberian sejumlah uang kepada keluarga korban. Publik menilai, inilah yang menyebabkan keluarga korban kemudian menandatangani “surat tidak keberatan” serta menolak proses autopsi.
Kecurigaan publik semakin menguat setelah pernyataan Kasat Reskrim Polres Pohuwato, AKP Khoirunnas, pada aksi damai Selasa (4/11/2025). Di depan massa aksi, ia menyebut bahwa keluarga korban telah menyatakan tidak keberatan atas insiden tersebut sembari menunjukkan beberapa lembar dokumen.
Namun, secara hukum, pernyataan keluarga tidak serta merta menghapus unsur pidana. Tindak pidana lingkungan, kematian akibat kelalaian, atau perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang bukan perkara yang bisa dinegosiasikan dengan selembar surat maupun segepok uang.
AKPERSI Angkat Suara: Hukum Jangan Mandul di Pohuwato
Menanggapi situasi ini, Ketua DPD AKPERSI Provinsi Gorontalo, Imran Uno, menegaskan bahwa pihaknya akan membawa kasus ini ke Mabes Polri.
“Kasus ini tidak boleh berhenti di Pohuwato. Ada indikasi kuat bahwa penegakan hukum di sana stagnan. Kami sudah melaporkan hal ini secara resmi kepada DPP AKPERSI saat Rakernas melalui forum virtual, Rabu malam (5/11),” ujar Imran.
Imran juga menilai, masyarakat Pohuwato kini mulai kehilangan kepercayaan terhadap aparat penegak hukum setempat. Ia bahkan menyebut bahwa masyarakat lebih mempercayai gaya kepemimpinan AKBP Sigit Rahayudi, Kapolres Boalemo, yang dinilai lebih profesional, transparan, dan tegas dalam memberantas PETI di wilayah hukumnya.
Ketua Umum AKPERSI: Nyawa Manusia Tidak Bisa Diganti Rupiah
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI),
Rino Triyono, S.Kom., S.H., C.IJ., C.BJ., C.EJ., C.F.L.E., memperkuat sikap tegas DPD Gorontalo. Ia memastikan bahwa DPP AKPERSI akan melayangkan laporan resmi kepada Mabes Polri terkait dugaan mandeknya penegakan hukum atas kasus kematian dua warga Bulangita tersebut.
“Yang meninggal itu bukan angka. Yang meninggal manusia,” tegas Rino.
“Jika hukum bisa ditundukkan oleh selembar surat dan segepok uang, itu bukan lagi penegakan hukum. Itu degradasi hukum,” lanjutnya.
Saat dihubungi secara terpisah oleh awak media, Rino menegaskan bahwa pihaknya terus memantau seluruh aktivitas dan investigasi di jajaran DPD dan DPC AKPERSI di seluruh Indonesia, termasuk temuan jurnalis AKPERSI di Gorontalo.
“Kami memantau semua perkembangan. Dari hasil investigasi, ada dugaan kuat bahwa aparat penegak hukum di tingkat Polres dan Polda seolah menutup mata. Bahkan ada indikasi perlindungan terhadap pengusaha tambang ilegal, sementara pelaku lapangan dibiarkan,” ungkap Rino.
Ia menambahkan, AKPERSI kini tengah mengumpulkan bukti dan data untuk dilaporkan secara resmi ke Mabes Polri.
“Kami akan meminta Mabes Polri menurunkan tim investigasi khusus. Nyawa manusia tidak bisa diganti dengan rupiah. Harus ada pertanggungjawaban hukum yang jelas,” tegasnya.
Publik Menunggu Ketegasan Aparat
Kasus Bulangita kini menjadi sorotan luas. Publik menilai bahwa keadilan tidak boleh berhenti di meja negosiasi. Jika benar ada unsur kelalaian atau pelanggaran hukum, aparat penegak hukum harus bertindak tanpa pandang bulu.
AKPERSI sebagai wadah jurnalis dan pemerhati keadilan sosial menyatakan siap “speak up” dan turun langsung mengawal proses hukum hingga ke tingkat Mabes Polri.(*)
Sumber: DPD AKPERSI Provinsi Gorontalo / DPP AKPERSI
Laporan ; Dedi Okta Kabiro Tanggamus






