
SINARPOS.com – Tapanuli Tengah, Sumatera Utara || Gelombang keprihatinan publik kembali membuncah setelah seorang warga melaporkan kasus dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur yang terjadi di Kelurahan Kalangan, Kecamatan Pandan, Senin malam, 14 Juli 2025.
Laporan resmi tersebut diterima Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Tapanuli Tengah pada pukul 00.15 WIB, Selasa 15 Juli 2025. Pelapor, Iwan Saputra Pasaribu (50), seorang buruh bangunan, mengaku mengetahui peristiwa tersebut dari seorang saksi bernama Muhammad Davin Lubis, yang sudah lama mendengar isu soal hubungan tidak wajar antara pelaku dan korban.
Kasus ini tercatat secara hukum dengan nomor laporan LP/B/366/VII/2025/SPKT/Res TapTeng/Poldasu, dan dikategorikan sebagai tindak pidana pencabulan terhadap anak di bawah umur, sesuai perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Gelombang kemarahan publik terus menguat pasca laporan resmi atas dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh seorang buruh bangunan. Kasus ini memunculkan respons keras dari berbagai kalangan, salah satunya dari Ibu Tiur Simamora, tokoh sosial dan aktivis perlindungan anak serta perempuan, yang dikenal vokal dalam memperjuangkan keadilan di wilayah Tapanuli Tengah.
Ibu Tiur Simamora Mengecam Keras Kasus Pencabulan Anak di Tapanuli Tengah: “Jangan Biarkan Kejahatan Ini Terulang!”

Respons keras datang dari Tiur Simamora, aktivis perlindungan anak dan tokoh sosial Tapanuli Tengah. Dalam pernyataannya, beliau menunjukkan kemarahan dan kekecewaannya atas masih maraknya kejahatan seksual terhadap anak.
“Saya sangat marah dan kecewa. Kasus seperti ini seharusnya tidak lagi menjadi berita rutin. Ini bukan semata pelanggaran hukum, tapi kejahatan terhadap kemanusiaan. Anak-anak berhak hidup bebas dari rasa takut dan luka batin.”
Sebagai warga asli daerah yang aktif mendampingi korban kekerasan, Tiur menyayangkan lambatnya tindakan preventif dan penegakan hukum.
“Setiap kali kasus seperti ini muncul, sistem perlindungan hukum kita terlihat lemah. Pemerintah dan aparat hukum harus bertindak cepat dan tegas, demi menyelamatkan masa depan generasi muda.”
Menurutnya, kasus yang dilaporkan ke Polres Tapanuli Tengah pada 15 Juli 2025 dengan nomor LP/B/366/VII/2025/SPKT/Res TapTeng/Poldasu adalah bukti nyata bahwa krisis perlindungan anak masih berlangsung di tingkat lokal. Ibu Tiur juga mendesak agar semua pihak, mulai dari pemangku kebijakan hingga tokoh agama dan pendidikan, turut menciptakan sistem sosial yang peduli dan protektif terhadap anak-anak.
Baca Juga:
Pernyataan keras dari Ibu Tiur Simamora menjadi simbol bahwa masyarakat tidak tinggal diam. Aktivis, warga, dan pemangku kebijakan di Tapanuli Tengah kini dituntut untuk berani bersikap. Penindakan pidana saja tidak cukup—harus ada sistem pengawasan dan edukasi yang mengakar.
Kasus ini menambah daftar panjang tragedi kekerasan seksual terhadap anak yang tak kunjung usai di Indonesia. Masyarakat menuntut penegakan hukum yang tegas, perlindungan hukum bagi anak, serta edukasi publik yang lebih masif untuk mencegah terulangnya peristiwa serupa.
Dalam konteks hukum, perbuatan seperti ini berpotensi melanggar pasal-pasal yang termuat dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan KUHP, yang mengatur hukuman berat bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Kepolisian diharapkan bergerak cepat dalam penyelidikan, serta melibatkan lembaga perlindungan anak dan psikolog guna memastikan korban mendapatkan bantuan yang layak dan aman.
Dampak Sosial dan Psikologis yang Menghantui
Kasus pencabulan terhadap anak tidak hanya menciptakan trauma individual, tetapi juga melemahkan struktur kepercayaan komunitas secara kolektif.
🔍 Dampak Psikologis
- Anak korban cenderung mengalami trauma jangka panjang, PTSD, depresi, hingga gangguan relasi sosial.
- Tanpa pendampingan psikologis, efek ini berpotensi menghambat tumbuh kembang serta masa depan pendidikan korban.
📉 Efek Sosial
- Lingkungan tempat kejadian mengalami stigma, ketakutan, dan keretakan sosial, apalagi jika pelaku dikenal masyarakat.
- Media dan tokoh lokal perlu bijak dalam menyampaikan isu tanpa memperburuk trauma korban.
⚖️ Tuntutan Hukum dan Sistem Perlindungan
- Publik mendesak agar proses hukum berjalan transparan dan cepat, serta melibatkan lembaga psikologis, sosial dan pemerhati anak.
- Evaluasi menyeluruh terhadap regulasi perlindungan anak di tingkat lokal mutlak diperlukan, termasuk pendidikan seksualitas dan nilai moral sejak dini.
Baca Juga:
Kasus BBM Bersubsidi dan Praktik Perikanan Ilegal Masih Beroperasi di Sibolga Tapanuli Tengah
Peristiwa ini bukan sekadar kasus pencabulan biasa—ini adalah alarm keras bagi sistem hukum, keluarga, pendidikan, dan masyarakat luas. Perlindungan anak seharusnya menjadi prioritas nasional, bukan hanya penindakan setelah kejadian. Publik menanti transparansi, keadilan, dan langkah konkret dari aparat penegak hukum demi memastikan kasus ini tidak hanya berakhir sebagai statistik.
Kasus ini seharusnya menjadi titik balik, bukan sekadar statistik baru. Dibutuhkan komitmen nyata dari semua elemen—pemerintah, penegak hukum, masyarakat, media, dan institusi pendidikan—untuk menciptakan lingkungan aman dan sehat bagi anak-anak.