Revisi UU BUMN dan Pembatasan Kewenangan KPK-BPK: Ancaman Nyata terhadap Transparansi dan Pemberantasan Korupsi
SINARPOS.com – Jakarta, 12 Mei 2025, 12 Mei 2025 || Sorotan tajam dari publik kembali menyeruak ke permukaan menyusul disahkannya revisi Undang-undang terkait Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pemangkasan wewenang lembaga pengawasan negara, khususnya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tiga poin kritis yang disampaikan oleh tokoh publik dan aktivis anti-korupsi, termasuk Dr. Bernard BBBI Siagian, SH, Makp, Prof. Dr. Wilson Lalengke, S.Pd., SH, M.Sc, dan aktivis vokal Debby GN Siagian (mahasiswa FH UKI), bersama Bunda Tiur Simamora, menyoroti potensi pelemahan sistem kontrol terhadap praktik penyalahgunaan keuangan negara.
1. Pemangkasan Wewenang BPK dan KPK: Demokrasi Dipertaruhkan
Menurut Debby GN Siagian, pemangkasan wewenang BPK dalam mengaudit keuangan BUMN merupakan bentuk kemunduran drastis dalam sistem demokrasi dan transparansi.
Sebelumnya, BPK memiliki otoritas untuk melakukan audit menyeluruh terhadap BUMN secara independen.
Namun dengan revisi UU yang baru, audit hanya bisa dilakukan melalui Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (PDTT), dan itu pun harus atas persetujuan DPR RI.
“Ini bukan hanya melemahkan fungsi pengawasan, tapi juga membuka ruang konflik kepentingan yang luas bagi aktor-aktor politik di parlemen,” ujar Debby lantang.
Kondisi serupa juga menimpa KPK. Revisi aturan mengebiri fungsi-fungsi vital KPK, seperti penyadapan, OTT (Operasi Tangkap Tangan), dan investigasi kasus besar, khususnya di tubuh BUMN.
Bahkan disebutkan bahwa BUMN kini tidak lagi masuk dalam kategori “Penyelenggara Negara” sebagaimana yang dijabarkan dalam UU No.19 Tahun 2019 tentang KPK.
Hal ini menghambat KPK dalam mengusut kasus korupsi yang menyangkut keuangan negara melalui perusahaan-perusahaan plat merah.
“Padahal, data mencatat setidaknya 215 kasus korupsi di tubuh BUMN dengan kerugian negara mencapai Rp74 triliun sepanjang 2016 hingga 2024,” ungkap Dr. Bernard, yang juga Ketua DPP GAKORPAN.
2. Implikasi Revisi Pasal dan Potensi Impunitas Koruptor
Salah satu pasal yang disorot adalah Pasal 3x ayat 1 junto Pasal 9G, yang mengecualikan BUMN dari kategori penyelenggara negara.
Ini dinilai sebagai langkah sistematis untuk menghindarkan jajaran BUMN dari pantauan KPK dan lembaga penegak hukum lainnya.
“Jika BUMN bukan lagi bagian dari sistem penyelenggara negara, maka para pejabatnya pun tidak lagi bisa dikategorikan sebagai pejabat publik. Ini jelas membuka ruang luas untuk praktik kolusi, suap, dan gratifikasi yang terlepas dari jerat hukum,” ujar Debby tegas.
Dr. Bernard menambahkan bahwa dalam UU KPK, hanya kasus dengan kerugian negara di atas Rp1 miliar yang bisa ditangani.
Dengan pelepasan BUMN dari ranah negara, celah hukum ini menjadi kendaraan empuk bagi para pelaku korupsi untuk lolos dari jerat hukum.
3. Hilangnya Frasa dan Empati tentang Kekayaan Negara dalam UU BUMN
Poin ketiga yang tak kalah penting adalah hilangnya frasa yang mengaitkan kekayaan BUMN dengan kekayaan negara.
Hal ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah kekayaan BUMN tidak lagi dianggap sebagai bagian dari aset negara? Jika demikian, maka pertanggungjawaban formil yuridis terhadap pengelolaan uang rakyat menjadi kabur dan tidak dapat lagi dijadikan dasar hukum untuk proses audit maupun investigasi penindakan hukum.
“Ini bukan hanya soal hukum. Ini soal moral, nurani, dan empati terhadap rakyat. Uang rakyat dikelola seolah-olah bukan lagi milik negara. Ini penghinaan terhadap rakyat miskin, termasuk para pekerja migran yang bertaruh nyawa di negeri orang,” seru Bunda Tiur Simamora, aktivis perempuan dari DPP GAKORPAN dan PPWI.
Seruan Moral: Lawan Pelemahan Demokrasi dan Korupsi Sistemik
Dalam pernyataan bersama, Debby Siagian dan Bunda Tiur menyerukan seluruh elemen masyarakat untuk bersatu mendukung Presiden Prabowo Subianto dalam memerangi korupsi hingga ke akar-akarnya, termasuk dengan penindakan tegas terhadap para koruptor, perampasan aset, dan pemberlakuan hukuman maksimal.
Mereka mengingatkan bahwa revisi UU yang ada saat ini bukanlah produk aspirasi rakyat, melainkan “pesanan politik” yang merugikan bangsa dalam jangka panjang.
“Jangan berhalusinasi demi melindungi koruptor. Jangan cuci tangan dari tanggung jawab. Publik tidak bodoh. Rakyat akan marah,” tegas Debby dan Bunda Tiur dalam nada penuh keprihatinan.
Dengan bertambahnya regulasi yang dinilai melemahkan semangat pemberantasan korupsi, publik dan tokoh-tokoh masyarakat semakin menyadari pentingnya pengawasan terhadap legislasi.
Revisi UU BUMN dan pembatasan terhadap KPK serta BPK menjadi peringatan keras bahwa demokrasi bisa direduksi jika rakyat tidak bersuara.
“Salam ASTA CITA, Pancasila, dan UUD 1945.”
Redaksi: Tim [Dr. Bernard Siagian, SH – Rusman – Bunda Tiur Simamora]
Eksplorasi konten lain dari SINARPOS.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.