
SINARPOS.com BANDUNG BARAT, 20 Juni 2025 || Wacana penggantian nama Kabupaten Bandung Barat (KBB) menjadi Kabupaten Batulayang tengah menjadi sorotan publik. Usulan ini mencuat setelah pidato Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dalam Rapat Paripurna Hari Jadi KBB ke-18, Kamis (19/6/2025), yang menilai bahwa nama “Bandung Barat” sulit diposisikan sebagai identitas mandiri dan kuat dalam konteks branding wilayah.
Ketua Komisi I DPRD KBB, Sandi Supyandi, menyambut usulan tersebut dengan mengajukan nama Batulayang, yang menurutnya memiliki akar sejarah kuat sebagai kabupaten yang pernah eksis pada awal abad ke-19. “Sekitar tahun 1802, Kabupaten Batulayang mencakup wilayah Kopo, Rongga, hingga Cisondari sebelum dilebur oleh pemerintahan Hindia Belanda ke Kabupaten Bandung,” jelasnya.
“Nama Batulayang bukan sekadar nama desa di Cililin. Ia adalah simbol kejayaan masa lalu yang bisa kita hidupkan kembali sebagai identitas baru yang lebih kuat dan berkarakter,” ujar Sandi.

Mengapa “Batulayang”?
Nama ini dianggap lebih mencerminkan karakter budaya Sunda dan potensi geografis wilayah. “Batu” melambangkan kekuatan dan keteguhan, sementara “Layang” menyiratkan kebebasan dan aspirasi untuk tumbuh. Kombinasi ini dinilai mampu membentuk citra daerah yang tangguh dan progresif.
Gubernur Dedi Mulyadi menambahkan bahwa nama “Bandung Barat” cenderung membingungkan secara geografis dan tidak memiliki kekhasan. “Bagi warga Cianjur, ini bisa dianggap Bandung Timur. Bagi Purwakarta, ini Bandung Selatan. Branding-nya tidak jelas,” tegasnya.
Pro dan Kontra di Tengah Masyarakat
Meski sebagian kalangan mendukung, tak sedikit pula yang menolak. Dr. Endang Hidayat, pengamat budaya dari UPI, menilai bahwa perubahan nama harus mempertimbangkan aspek historis dan psikologis masyarakat. “Nama Bandung Barat sudah menjadi bagian dari identitas kolektif warga. Mengubahnya bukan sekadar soal label, tapi juga soal memori sosial,” ujarnya.
Kekhawatiran juga muncul terkait biaya administratif dan dampak hukum dari perubahan nama, termasuk penggantian dokumen resmi, papan nama, hingga sistem informasi pemerintahan.
Namun, pendukung perubahan menilai ini sebagai momentum untuk memperbaiki citra daerah yang selama ini kerap dikaitkan dengan isu korupsi dan lemahnya tata kelola pemerintahan.
Baca Juga:
“Seperti kepercayaan lama, kalau anak sakit-sakitan harus diganti namanya agar sembuh. Mungkin daerah juga begitu,” ujar Sandi, menyiratkan harapan akan transformasi menyeluruh.
Dampak terhadap Branding, Ekonomi, dan Pariwisata
Dengan nama baru, diharapkan KBB dapat membangun identitas yang lebih kuat di sektor pariwisata dan investasi. Wilayah ini memiliki potensi besar seperti Lembang, Maribaya, dan Tangkuban Perahu. Nama “Batulayang” dinilai lebih menjual dan mudah dikenali di tingkat nasional maupun internasional.
Namun, branding tanpa strategi pembangunan yang konkret bisa menjadi sia-sia. Oleh karena itu, penguatan infrastruktur, promosi digital, dan pelibatan masyarakat lokal menjadi kunci keberhasilan rebranding ini.
DPRD KBB menyatakan bahwa usulan ini masih dalam tahap pembahasan dan akan melibatkan kajian akademik serta konsultasi publik.
“Kami tidak ingin terburu-buru. Ini harus menjadi keputusan bersama yang matang dan inklusif,” kata Ketua DPRD KBB dalam pernyataan terpisah.