
Sinarpos.com – Angin sore itu membawa debu dan bau mesiu. Langit Gaza berwarna kelabu, seperti menyimpan rahasia yang tak pernah selesai. Dari kejauhan, suara dentuman terdengar lagi.
Di sebuah rumah yang setengah dindingnya runtuh, seorang anak lelaki berumur sembilan tahun duduk memeluk boneka rusak. Namanya Yusuf. Matanya memandang kosong ke arah ibunya, yang sedang menutup luka di lengannya dengan sobekan kain.
“Ummi… kenapa mereka tidak berhenti menyerang kita?” tanya Yusuf pelan.
Ibunya menghela napas panjang. “Karena mereka ingin kita pergi dari sini, Nak. Mereka ingin mengambil semua yang kita punya… bahkan tanah tempat kita berpijak.”
Di luar sana, dunia sedang gaduh. Rencana “penguasaan penuh” atas Gaza yang dinyatakan oleh Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel, menggema di media. Kata-kata itu, di mata sebagian orang, seakan sesuatu yang baru. Padahal, bagi Yusuf dan jutaan warga Palestina, pendudukan ini sudah berlangsung seumur hidup mereka—bahkan sejak 75 tahun lalu.
Netanyahu boleh berkata seakan Israel baru berniat menguasai Gaza. Namun, sejarah menulis lain. Gaza telah menjadi sasaran sejak lama. Penjajahan ini bukan hanya tentang wilayah, tapi tentang menghancurkan identitas dan perlawanan.
Dr. Mustafa Barghouti, seorang aktivis Palestina, pernah berkata, “Pernyataan mereka hanyalah bahasa halus dari proyek lama: memperluas jajahan, menghapus Gaza dari peta.”
Malam itu, Yusuf tertidur di pangkuan ibunya, sementara suara tembakan masih terdengar. Dalam sunyi yang terpotong ledakan, saya teringat satu hal, bahwa umat harus sadar bahwa penjajahan ini bukan konflik biasa. Ini adalah perampasan tanah, darah, dan martabat.
“Penjajahan itu haram,” kata seorang ulama senior di Kairo, “Dan kewajiban kita adalah melawannya sampai penjajah benar-benar disingkirkan. Bukan hanya dengan kata-kata, tapi dengan kekuatan.”
Sejarah mencatat, ketika negeri-negeri Islam dijajah, mereka dibebaskan melalui jihad fii sabilillah di bawah komando pemimpin yang sah. Rasulullah saw. memimpin pasukan untuk membebaskan Makkah.
Penaklukkan Yerusalem dilakukan dengan kehormatan, yang diperintahkan Umar bin Khattab sebagai memimpin umat saat itu. Sultan Shalahuddin al-Ayyubi mengusir tentara salib dari Al-Quds dengan satu komando, satu bendera, dan satu tujuan.
Allah Swt. Berfirman, “Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah.” (QS. Al-Baqarah: 193)
Seorang kawan dari Gaza pernah berkata pada saya lewat sambungan video, “Kami tidak butuh iba. Kami butuh umat yang bergerak. Kami butuh pemimpin yang mengirim pasukan, bukan sekadar resolusi.”
Kata-kata itu menancap di hati saya. Benar, jihad yang sempurna hanya bisa dilakukan di bawah komando seorang Khalifah. Tanpanya, perjuangan akan tercerai-berai.
Di mata Yusuf, saya melihat cahaya kecil yang menolak padam. Cahaya itu adalah harapan. Harapan yang sama dimiliki oleh jutaan umat di luar sana, yang percaya bahwa Khilafah bukan sekadar utopia, tapi jalan yang pernah ada dan akan kembali.
Malam semakin larut. Di luar, suara ledakan mereda untuk sementara. Yusuf terlelap. Ibunya menatap saya, lalu berkata pelan, “Katakan pada dunia… kami ingin pulang, tapi ke rumah yang utuh. Ke Gaza yang bebas.”
Oleh: Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)