
Sinarpos.com – “Bu, aku boleh sekolah kan… tapi sepatu Dina sudah bolong?”
Pertanyaan itu meluncur pelan dari bibir mungil Dina, bocah perempuan delapan tahun yang tengah memandangi sepatu plastik murahan yang solnya mulai terbuka. Ia duduk bersila di teras rumah berdinding bilik, sementara ibunya, Bu Salma, mengaduk nasi di panci usang dari hasil jatah dapur umum RT.
Bu Salma menghela napas. “Boleh, sayang… Dina sekolah saja. Sepatu bolong tak apa. Ilmu enggak bocor kok.”
Dina terkekeh kecil. Tapi tawanya cepat padam. Ia tahu, meski ibunya mencoba tegar, ada beban berat di balik senyum itu.
Hari itu, Dina menjadi satu dari ratusan anak yang mendaftar di Sekolah Rakyat (SR), sebuah program baru dari pemerintah yang digagas langsung oleh Presiden. Tujuannya jelas, yakni memutus rantai kemiskinan yang menjerat banyak keluarga seperti keluarga Dina.
Seperti diberitakan oleh salah satu media mainstream (18 Juli 2025), program ini bahkan mengubah fungsi gedung SLBN A Pajajaran Bandung menjadi lokasi belajar untuk SR. Sebuah keputusan yang memantik pro dan kontra. Namun, niat di balik program ini tetaplah mulia: memberi harapan kepada mereka yang selama ini tak punya pintu masuk ke dunia pendidikan.
Wakil Menteri Sosial menyatakan bahwa kebutuhan siswa-siswi SR akan dijamin. Menteri Sosial pun menyampaikan harapan besar:
“Disiplinlah, insyaallah kalian jadi orang sukses.” (21 Juli 2025)
Namun, di balik seragam baru dan sepatu sumbangan, masih banyak pertanyaan menggantung. Apakah SR cukup untuk menghentikan kemiskinan?
Pak Soleh, seorang guru honorer mengungkapkan kegundahannya. “Kami diberi amanah mendidik. Tapi bagaimana bisa maksimal kalau ruang kelas sempit, alat belajar minim, dan guru pun belum cukup?”
Realita berbicara lebih keras dari pidato. Anak-anak SR masih belajar bergantian, berbagi buku, dan bersaing dengan keterbatasan. Mereka adalah generasi yang ingin terbang tinggi, tapi masih menapaki jalan berkerikil.
Seorang ahli pendidikan, Prof. Dr. Arief Rachman dari UI, menyebutkan dalam wawancara (16 Juli 2025), bahwa “Pendidikan berkualitas tidak cukup hanya dengan niat baik. Ia butuh sistem kuat, jaminan masa depan dan guru kompeten.”
Pak Joko, ayah dari tiga anak, baru saja kehilangan pekerjaannya di pabrik. Ia berkata,
“Saya senang anak saya bisa sekolah gratis. Tapi nanti setelah lulus, apakah ada kerjaan? Sekarang saja PHK terus meningkat.”
Kita tidak bisa menutup mata. Kemiskinan hari ini adalah kemiskinan struktural. Ia bukan semata karena pendidikan rendah, tapi karena sistem yang tak berpihak pada rakyat. Negara masih berdiri di belakang pasar, bukan rakyat. Negara belum sungguh-sungguh menjadi pelayan kehidupan rakyat, hanya sekadar regulator kebijakan.
SR bukan ide buruk. Bahkan sangat baik bila dilandasi kesungguhan dan keberlanjutan.
Bu Salma sering berdoa usai salat, “Ya Allah, jadikan ilmu Dina jalan keluar dari kemiskinan, bukan sekadar hiburan dari derita.”
Solusi Islam
Dalam sejarah Islam, pendidikan adalah tanggung jawab negara, bukan beban rakyat. Rasulullah saw. bersabda: “Imam adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhari)
Negara Islam tak membiarkan rakyatnya mengais harapan dari sisa. Ia menyediakan pendidikan berkualitas, membiayainya penuh, serta menjamin kesejahteraan dan pekerjaan bagi semua.
Umar bin Khattab bahkan menggaji guru-guru dengan sangat layak, sekitar 15 dinar (1 dinar emas = 4.25 gram emas murni 24 karat, jika harga emas murni 24K sama dengan Rp 1.200.000 per 1 gram, berarti guru digaji sekitar Rp 76,5 juta) supaya dipastikan mereka fokus pada mendidik generasi.
Bahkan pada masa Khalifah Harun Ar-Rasyid, anak petani pun bisa belajar bersama anak pejabat, semua setara dalam akses dan mutu.
Oleh: Ummu Fahhala, S. Pd(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)