Merdeka Tapi Masih Terbelenggu Luka

Sinarpos.com

Sinarpos.com – Angin sore berhembus pelan ketika aku duduk di beranda rumah, memandang bendera merah putih yang berkibar di ujung jalan. Usianya sudah delapan puluh tahun lebih sejak pertama kali dikibarkan.

Seorang sahabat duduk di sampingku, menatap bendera itu dengan sorot mata sendu.
“Apa yang kau pikirkan?” tanyanya.
Aku menarik napas panjang. “Aku merasa… bahwa masih banyak luka di tengah kemerdekaan yang kita rasakan. Pendidikan kita timpang, kesehatan kita mahal. Seolah-olah kemerdekaan hanya milik sebagian orang.”

Aku teringat berita beberapa hari lalu. Ada keprihatinan mendalam yang dirasakan DPR karena menurunnya angka partisipasi sekolah menengah secara signifikan (14/08/2025). Itu bukan sekadar angka, itu wajah nyata anak-anak yang terpaksa berhenti sekolah karena jalan ke depan begitu mahal dan berliku.

Sahabatku menimpali, “Di kampungku, ada anak cerdas. Tapi ia berhenti sekolah karena tak ada ongkos. Bagaimana bisa kita sebut merdeka jika pintu ilmu tertutup bagi mereka?”

Aku mengangguk, terdiam sejenak. Seolah luka itu bertambah ketika kuingat laporan lain. Fasilitas kesehatan disebut barang mahal (18/08/2025). Di beberapa daerah, puskesmas sepi tenaga kesehatan. Stunting dan gizi buruk merajalela. (31/07/2025).

Sahabatku menunduk. “Merdeka, katanya. Tapi rakyat masih menderita.”

Aku mulai berbicara lebih dalam. “Tahukah kau mengapa semua ini terjadi? Karena sistem yang kita anut. Kapitalisme menjadikan pendidikan dan kesehatan sebagai komoditas. Kualitas sekolah ditentukan uang. Akses kesehatan tergantung kemampuan membayar.”

“Jadi hanya yang kaya bisa merasakan kemerdekaan sejati?” sahabatku menatap tajam.

“Ya,” jawabku lirih. “Sementara mereka yang miskin semakin tersisih. Kapitalisme hanya peduli pada daerah yang bernilai ekonomi. Daerah terpencil? Dibiarkan terabaikan. Negara lebih sering jadi regulator ketimbang pelayan sejati.”

Islam: Jalan Menuju Kemerdekaan Hakiki

Sahabatku terdiam, lalu bertanya, “Kalau begitu, apa jalan keluarnya?”

Aku tersenyum tipis. “Islam. Sistem yang sempurna. Rasulullah saw. bersabda, ‘Imam adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya.’ (HR. Bukhari dan Muslim)

Islam menjadikan negara sebagai râ‘in atau pelayan rakyat. Pendidikan dan kesehatan bukan hak individu yang dibayar, melainkan hak publik yang wajib dijamin negara.”

Aku melanjutkan dengan suara yang lebih mantap, “Allah Swt. berfirman, ‘Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.’ (QS. Al-Anbiya: 107)

Ayat ini menunjukkan, syariat Islam adalah rahmat. Maka negara wajib menghadirkan rahmat itu dalam bentuk layanan pendidikan dan kesehatan gratis, merata, dan bermutu. Tanpa diskriminasi.”

Sahabatku menatap penuh minat. “Tapi dari mana negara mendapatkan dana sebesar itu?”

Aku menjawab tegas, “Dari Baitul Maal. Dari zakat, kharaj, jizyah, ghanimah, fai’, dan pengelolaan kekayaan alam. Allah berfirman, ‘Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.’
(QS. At-Taubah: 103)

Pada masa Khulafaur Rasyidin, dana itu membiayai pendidikan, kesehatan, bahkan pembangunan jalan, jembatan, dan rumah singgah. Khalifah Umar bin Khaththab mendirikan baitus-sabīl, yakni rumah singgah gratis bagi musafir dan fasilitas kesehatan untuk semua rakyat tanpa memandang miskin atau kaya.”

Sahabatku menatapku dalam-dalam. “Jadi, kau ingin mengatakan, kemerdekaan sejati hanya bisa hadir dengan Islam?”

Aku mengangguk. “Benar. Kita memang bebas secara militer sejak delapan puluh tahun lalu. Tetapi kita belum merdeka dari ketidakadilan. Kapitalisme telah gagal. Islam menawarkan sistem yang menempatkan negara sebagai pelayan rakyat, bukan penjaga kepentingan pasar. Jika kita ingin merdeka utuh, secara materi maupun spiritual, maka Islam adalah jalannya.”

Hening sesaat. Bendera merah putih masih berkibar, seakan berbisik: “Aku menunggu hari ketika kemerdekaan benar-benar dirasakan seluruh rakyat.”

Sahabatku tersenyum. “Semoga hari itu segera tiba.”

Aku mengangguk, dan dengan mata berkaca-kaca, aku berbisik pada diriku sendiri:
“Merdeka sejati bukan sekadar simbol. Ia adalah hadirnya negara yang menanggung beban rakyat, hingga tak ada lagi yang terpinggirkan dari pendidikan dan kesehatan.”

Oleh: Ummu Fahhala, S. Pd.(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)

BERITA TERKAIT

BERITA KHUSUS (VIDEO STREAMING)

GIIAS 2025

Belasan Media Nasional Kawal Kasus Kematian Imam Komaini Sidik: Dugaan Pembunuhan Terencana, Hanya Satu Tersangka Ditahan?

Belasan Media Nasional Kawal Kasus Kematian Imam Komaini Sidik: Dugaan Pembunuhan Terencana, Hanya Satu Tersangka Ditahan?

Keluarga Korban Pembunuhan Imam Komaini Sidik Desak Pengungkapan Komplotan Pelaku: “Kami Percaya Ini Bukan Ulah Satu Orang”

Keluarga Korban Pembunuhan Imam Komaini Sidik Desak Pengungkapan Komplotan Pelaku: “Kami Percaya Ini Bukan Ulah Satu Orang”

Kantor Penasehat Hukum Hendri C Saragi, SH Desak Otopsi Jenazah Imam Komaini Sidik Oleh Tim Medis TNI: Mengungkap Tabir Kematian yang Penuh Tanda Tanya

Kantor Penasehat Hukum Hendri C Saragi, SH Desak Otopsi Jenazah Imam Komaini Sidik Oleh Tim Medis TNI: Mengungkap Tabir Kematian yang Penuh Tanda Tanya

Tragedi Pembunuhan Menyimpan Tanda Tanya, Ada Apa di Balik Peritiwa ini ?

Tragedi Pembunuhan Menyimpan Tanda Tanya, Ada Apa di Balik Peritiwa ini ?

Jalan Rusak di Daerah Pesantren Kelapa Sawit: Suara Warga yang Tak Kunjung Didengar

Jalan Rusak di Daerah Pesantren Kelapa Sawit: Suara Warga yang Tak Kunjung Didengar