Search for:
  • Home/
  • OPINI/
  • Menyoal Fenomena Urbanisasi Pasca Mudik
Menyoal Fenomena Urbanisasi Pasca Mudik

Menyoal Fenomena Urbanisasi Pasca Mudik

Sinarpos.com

Sinarpos.com – Urbanisasi berpotensi meningkat di Kota Bandung pascamudik Lebaran. Pendatang baru di Kota Bandung diprediksi akan mengalami lonjakan. Oleh karena itu, Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan akan melakukan langkah antisipatif guna mengendalikan masuknya pendatang baru.

Fenomena urbanisasi selalu terjadi setiap tahunnya. Yang mudik/pulang kampung hanya dua orang, kembali ke kota bisa dua kali lipatnya atau lebih.

Menurut Farhan, meskipun upaya pengawasan sudah dilakukan, seperti pemeriksaan dan pelaporan khusus terutama terkait administrasi kependudukan di setiap pintu masuk kendaraan umum, masih ada saja rembesan pendatang yang lolos. Maka dari itu, pihaknya akan melakukan penyisiran ke tempat yang sering dijadikan penampungan bagi pendatang baru. (Jabarprov.go.id, 2/4/2025)

Urbanisasi menjadi asa bagi pendatang baru untuk mengadu nasib di kota-kota besar, termasuk Kota Bandung.

Fenomena urbanisasi pascamudik menggambarkan adanya ketimpangan ekonomi, sosial, dan pembangunan antara desa dan kota. Juga korban PHK massal menjadi faktor pendorong urbanisasi.

Fenomena urbanisasi hanya gejala dari masalah utama, yaitu kegagalan negara dalam menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat, tidak terkecuali pascamudik Lebaran. Hal ini terus berulang dan menjadi tradisi dari tahun ke tahun hingga negara gagal mengatasinya.

Faktor Penyebab

Faktor apa saja yang menjadikan pendatang baru rela berjibaku mengadu nasib di kota?

Pertama, kegiatan ekonomi dan industri mayoritasnya berpusat di kota-kota besar. Hal tersebut menjadikan magnet yang mampu menarik masyarakat di daerah untuk ke kota. Peluang lapangan kerja yang lebih beragam dan penghasilan yang lebih tinggi menjadi alasan kuat yang sulit untuk terbantahkan.

Namun, jika tidak diimbangi dengan keterampilan yang mumpuni, malah berpotensi menambah beban ekonomi dan dapat menimbulkan masalah pengangguran dan kemiskinan.

Kedua, ketimpangan infrastruktur antara desa dan kota. Infrastruktur di perkotaan jauh lebih baik daripada di pedesaan. Masyarakat pedesaan berbondong-bondong mengadu nasib ke perkotaan untuk merasakan fasilitas infrastruktur yang lebih lengkap daripada di desa mereka. Namun, lonjakan populasi penduduk kota yang mendadak akan menjadi beban infrastruktur yang dapat memperburuk kondisi sosial masyarakat, semisal transportasi dan kemacetan, harga hunian melambung tinggi, beban fasilitas pendidikan dan kesehatan jadi bertambah.

Akar Masalah

Fenomena urbanisasi tidak akan berulang setiap tahunnya jika lapangan pekerjaan di desa terbuka lebar untuk penduduknya.

Kebebasan berkepemilikan dan liberalisasi pasar dalam sistem kapitalisme menjadikan negara hanya sebatas regulator dan fasilitator dalam menciptakan lapangan kerja. Hal ini membuka jalan bagi individu dan swasta yang memiliki modal besar untuk menguasai satu atau lebih aset dan kekayaan, baik itu milik pribadi, umum, ataupun negara. Jadilah, korporasi yang membuka lapangan kerja, yang seharusnya kewajiban negara.

Negara dalam sistem kapitalisme mengandalkan investasi swasta dalam pembangunan. Negara makin tidak berdaulat. Pada akhirnya, rakyat lagi yang menjadi korban dan menjadi pihak yang dirugikan.

Islam Menyejahterakan

Islam memiliki solusi atas segala permasalahan kehidupan, termasuk ketimpangan ekonomi, sosial, dan pembangunan antara di desa dan di kota. Islam mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya yang gagal diwujudkan oleh sistem kapitalisme.

Mekanisme Islam dalam mengatasi ketimpangan ekonomi, pertama, pembangunan harus memberikan dampak positif bagi kehidupan masyarakat. Negara wajib menyediakan infrastruktur publik yang dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat luas. Pembangunan tidak boleh merampas ruang hidup masyarakat. Negara tidak boleh memaksa jika ingin melakukan pembangunan di atas tanah milik rakyat. Jika pemilik tanah rida melepaskan tanahnya, maka negara harus memberikan kompensasi yang layak dan sepadan.

Pada masa keemasan Islam, pembangunan infrastruktur berjalan cukup pesat. Baghdad pada abad ke-8, memiliki jalan-jalan yang sudah terlapisi aspal. Pembangunan ini terjadi pada masa pemerintahan Khalifah Al-Mansur pada 762 M, sedangkan Eropa baru membangun jalan pada abad ke-18.

Khalifah Umar bin Khattab juga pernah mendanai pembangunan infrastruktur melalui anggaran khusus di baitulmal. Tidak ada kamusnya dalam Islam membangun infrastruktur dengan jalan berutang dan investasi asing.

Pemasukan baitulmal berasal dari harta fa’i, ganimah, Anfal, usyur, khusus, rikaz, zakat, jizyah, kharaj, serta pengelolaan barang tambang. Kepemilikan umum, baik berupa sumber daya alam maupun infrastruktur publik harus dikelola oleh negara dan pemanfaatannya untuk seluruh rakyat diperoleh dengan gratis atau dengan harga terjangkau.

Kebutuhan dasar rakyat akan selalu optimal terpenuhi oleh negara baik kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Negara memberikan kemudahan demi kemudahan dalam memenuhinya.

Demikianlah, negara dalam Islam mewujudkan kesejahteraan dengan terpenuhinya kebutuhan vital rakyat di seluruh wilayah, baik di kota maupun di desa. Semua dijalankan dengan penuh tanggung jawab terhadap amanah yang diembannya sebagai pemimpin negara. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya imam/Khalifah adalah perisai, orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR Muslim)

Permasalahan urbanisasi dan ketimpangan ekonomi dapat terselesaikan dengan tuntas melalui penerapan sistem Islam secara total, bukan kebijakan tambal sulam sistem kapitalisme yang tidak pernah menyentuh akar permasalahan.

Wallahualam bissawab.

Oleh : Yanyan Supiyanti, A.Md.
Pendidik Generasi


Eksplorasi konten lain dari SINARPOS.com

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Tinggalkan Balasan