
Sinarpos.com – Peringatan 80 tahun kemerdekaan RI diliputi dengan ironi. Indonesia dihadapkan pada persoalan di berbagai bidang kehidupan, seperti di bidang sosial, ekonomi, dan politik. Hal ini jauh dari tujuan kemerdekaan dan pembentukkan negara sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tujuan bernegara Indonesia sepertinya masih di dalam angan-angan saja, alih-alih bisa mencapainya selama delapan puluh tahun ini. Nampaklah bahwa Indonesia meski sudah merdeka dari penjajahan fisik, Indonesia masih terjajah secara hakiki. Kemerdekaan seharusnya tampak pada kesejahteraan rakyat, yaitu terpenuhinya kebutuhan dasar tiap rakyat (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan).
Faktanya, banyak terjadi PHK terhadap pekerja di berbagai sektor, seperti di industri tekstil, teknologi, dan lain-lain. Pendapatan masyarakat juga menjadi stagnan atau bahkan turun, sedangkan pengeluaran semakin besar karena harga-harga melambung tinggi.
Tingginya angka pengangguran juga memperparah keadaan, saat ini banyak lulusan S1 yang terpaksa bekerja diluar kualifikasinya. Bonus demografi juga tidak akan membawa keuntungan bahkan bisa jadi masalah jika negara tidak memberikan lapangan pekerjaan yang banyak bagi generasi produktif tersebut. Banyaknya pungutan dari negara juga mengakibatkan masyarakat terpaksa makan tabungan. Kondisi ini rawan menjatuhkan warga kelas menengah ke jurang kemiskinan.
Di bidang pendidikan juga tidak mengalami kemajuan yang berarti. Meskipun terdapat kebijakan pemerintah dalam menaikkan tunjangan guru (baik guru ASN, sertifikasi maupun honorer) tampaknya kesejahteraan guru masih bisa dibilang rendah. Selain itu,Indonesia juga mengalami gonta ganti cara, kegagalan dan kekecewaan yang silih berganti. Mengutip adagium ini, motto itu, sepotong ide dari tempat yang lain, menjadikannya satu koleksi racikan tambal sulam. Jelaslah, kita belum mempunyai prinsip yang menyatukan dan hakiki.
Persoalan lainnya adalah adanya pembajakan potensi generasi muda untuk mengokohkan kapitalisme, individualisme dan kebebasan HAM yang kebablasan.
Seperti menegaskan bahwa penerapan sistem sekuler kapitalisme di dalam negara tidak berpihak pada keadilan, kesejahteraan rakyat, dan fitrah manusia yang beragama. Indonesia mempunyai masyarakat yang sebagian besarnya beragama Islam.
Dan Islam sebagai sistem keyakinan yang mengurus hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan lingkungannya jelaslah bahwa orang Islam tidak bisa bersifat sekuler yang memisahkan urusan agama dengan dunianya; atau bersifat dualisme yakni yang meyakini Islam sebagai agama yang sempurna tetapi juga mengakui dan menjalankan sistem dan kepercayaan lain seperti kapitalisme, sosialisme atau pun komunisme di dalam kehidupannya. Karena hal itu merupakan inkonsistensi dirinya dalam beragama maupun keimanannya. Penerapan sistem Islam kaffah adalah kebutuhan dan solusi hakiki atas kondisi saat ini. Islam bukan hanya sebagai agama yang mengatur urusan hubungan manusia dengan Tuhannya dalam ritual ibadah, tetapi juga mempunyai sistem ekonomi, sistem pendidikan dan sistem pemerintahan.
Di dalam sistem ekonomi Islam mempunyai peraturan yang mampu mensejahterakan rakyat dengan mengelola kepemilikan umum dan mengalokasikan hasilnya untuk kesejahteraan rakyat, menjamin kesejahteraan rakyat dengan memenuhi kebutuhan pokok rakyat (sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan), melakukan industrialisasi sehingga membuka lapangan pekerjaan, memberikan tanah bagi yang mau menghidupkan, dan memberikan santunan dari baitulmal kepada fakir miskin.
Sistem pendidikan Islam tidak bersifat sekuler, semua ilmu bersifat ilmu agama yang ditujukan untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Tidak ada ilmu agama tersendiri yang dipisahkan dari yang lain, seperti matematika, ilmu alam, ilmu sosial dan lain-lain melainkan semuanya satu kesatuan yang utuh. Islam juga mempunyai basis nilai dan hukum yang menjaga pemikiran umat Islam agar tetap selaras dengan aturan syariat dan hidup hanya dalam ketaatan hanya kepada Allah SWT.
Untuk menjalankan hidup yang sesuai dengan ketentuan Islam sebagai ibadah maka diperlukan sebuah institusi negara yang bisa mewadahi kebutuhan itu, dan demokrasi bukanlah cara yang tepat. Menurut Aristoteles dan Plato (filsuf Yunani) di mana mayoritas penduduk dunia menganut cara-cara yang berasal dari filsuf Yunani ini, bahkan mengatakan bahwa demokrasi bukanlah cara yang paling baik dalam sebuah sistem pemerintahan. Apa pun itu, umat Islam tidaklah merujuk kepada sebuah sistem pemerintahan yang tidak dicontohkan oleh Nabi.
Kemerdekaan sejatinya adalah melepaskan diri dari penghambaan (ketaatan) kepada sesama makhluk dan menuju penghambaan (ketaatan) hanya kepada Allah. Untuk meraih kemerdekaan hakiki ini dibutuhkan aktifitas perubahan yang hakiki pula. Perubahan-perubahan selama ini yang sudah dilakukan belum menyentuh akar permasalahan, yaitu adanya sistem kapitalisme di dalam kehidupan. Untuk itu, diperlukan sebuah perubahan hakiki terhadap pemikiran yang dipimpin oleh jemaah dakwah Islam ideologis yang melakukan perubahan dari sistem rusak menuju Islam.
Oleh : Ati Yuniarti (Pendidik )