Menelisik Tragedi Kemanusiaan di Sudan

Sinarpos.com

Sinarposcom – Belum reda tragedi kemanusiaan di Gaza, dunia kembali dikejutkan oleh genosida di Sudan. Pada 26 Oktober 2025, Al-Fasher—ibu kota Darfur Utara—menjadi lokasi pembantaian lebih dari 2.200 warga sipil dan pengusiran hampir 400 ribu orang oleh Pasukan Dukungan Cepat (RSF) di bawah komando Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo. Setelah 18 bulan pengepungan, RSF berhasil merebut kota dari tangan militer Sudan, meninggalkan luka kemanusiaan yang mendalam.

Selama pengepungan, lebih dari satu juta warga dibiarkan kelaparan dan bertahan hidup dengan pakan ternak. Kekerasan brutal, termasuk penyiksaan dan pemerkosaan massal, terjadi di berbagai tempat, bahkan direkam dan disebarluaskan sebagai teror psikologis.

Akar Krisis

Akar konflik Sudan berawal dari masa kolonial Inggris dan Mesir pada 1899, ketika keduanya membentuk pemerintahan bersama bernama Sudan Anglo-Mesir. Sejak saat itu, Sudan selalu menjadi ajang perebutan pengaruh antara Inggris dan Mesir.

Inggris secara sistematis melemahkan peran Mesir dan mengendalikan Sudan melalui kebijakan yang memecah wilayah utara dan selatan. Kebijakan “pintu tertutup” yang diterapkan Inggris menciptakan ketimpangan sosial dan ekonomi. Utara—yang mayoritas Arab dan Muslim—diprioritaskan, sementara selatan—yang berpenduduk lokal beragama Kristen dan Animisme—dibiarkan terbelakang.

Akibatnya, sejak masa kolonial, terbentuk jurang politik, sosial, dan keagamaan yang dalam di antara dua wilayah ini.

Objek Perebutan Sumber Daya Alam

Sudan, terutama bagian selatan, kaya akan minyak, gas, emas, dan mineral strategis lain. Kekayaan alam ini menjadikannya incaran kolonial. Pasca-Perang Dunia II, Inggris mengubah bentuk penjajahan dari militer menjadi politik dan ekonomi, dengan membentuk elite penguasa boneka untuk melayani kepentingan mereka.

Kebijakan pecah belah ini melahirkan perang saudara panjang. Setelah kemerdekaan 1956, konflik antara utara dan selatan terus berlanjut, memuncak pada dua perang besar yang berakhir dengan pemisahan Sudan Selatan pada 2011. Pemisahan ini membuat Sudan kehilangan 70% sumber daya minyaknya, memperparah krisis ekonomi dan politik di utara.

Perebutan Pengaruh Barat

Amerika Serikat kemudian masuk sebagai kekuatan baru untuk menyingkirkan pengaruh Inggris di kawasan. Di balik narasi demokratisasi, AS berupaya menancapkan hegemoninya di Sudan dan Afrika Timur melalui proyek politik dan ekonomi, termasuk Abraham Accords—upaya normalisasi hubungan negara-negara muslim dengan Israel.

Sudan sebenarnya telah bergabung dalam perjanjian itu pada 2021, namun konflik internal membuat implementasinya tertunda.

Sejak pecahnya perang antara militer Sudan (SAF) dan RSF pada April 2023, lebih dari 150 ribu orang tewas dan 12 juta mengungsi. PBB menyebutnya sebagai krisis kemanusiaan dan pengungsian terbesar di dunia. Di balik konflik itu, tersimpan perebutan kendali atas sumber daya emas, dengan keterlibatan sejumlah negara seperti UEA, Mesir, Arab Saudi, dan Israel—semuanya berada dalam orbit politik AS.

Agenda Melemahkan Dunia Islam

Tujuan akhir konflik Sudan, seperti halnya di wilayah lain, adalah memecah belah kekuatan Islam. Rencana pemisahan wilayah barat (Darfur) dari utara adalah bagian dari strategi pelemahan umat agar lebih mudah dikendalikan oleh kekuatan Barat.

Propaganda Barat menggiring opini bahwa konflik di Sudan hanyalah perang etnis, padahal sejatinya merupakan bagian dari agenda perebutan sumber daya dan pengaruh geopolitik global.

Persatuan Umat Islam

Penderitaan rakyat Sudan menegaskan rapuhnya posisi umat Islam di bawah sistem kapitalisme sekuler global. Dunia Islam terpecah, dipimpin penguasa yang tunduk pada kepentingan asing, dan tercerabut dari identitas serta persatuan Islam yang pernah membuatnya berjaya.

Dulu, umat Islam hidup dalam satu kepemimpinan yang menerapkan syariat dan menjadi kekuatan dunia. Sejak sistem itu runtuh pada 1924, umat kehilangan arah dan kekuatannya, sementara kekayaan mereka justru menjadi sumber perebutan kekuatan global.

Selama sistem sekuler kapitalisme masih bercokol, penderitaan umat di Gaza, Sudan, Rohingya, Uighur, dan lainnya akan terus berulang. Hanya dengan kembali bersatu di bawah kepemimpinan Islam yang menyeluruh, umat bisa bangkit dan terbebas dari penjajahan modern yang terus mencengkeram.

Wallahualam bissawab.

Oleh Yanyan Supiyanti, A.Md.
Pendidik Generasi

BERITA TERKAIT

BERITA KHUSUS (VIDEO STREAMING)

Kasus Penyerobotan Lahan 1.564 Hektare Mukhtar & Srimahyuni: Ratu Prabu 08 Surati Polres dan Kuasa Hukum Desak Polres Bertindak Tegas

Kasus Penyerobotan Lahan 1.564 Hektare Mukhtar & Srimahyuni: Ratu Prabu 08 Surati Polres dan Kuasa Hukum Desak Polres Bertindak Tegas

Exhumasi Imam Komaini Sidik: Bongkar Tabir Kebohongan Kasus Pembunuhan di Rimbo Bujang

Exhumasi Imam Komaini Sidik: Bongkar Tabir Kebohongan Kasus Pembunuhan di Rimbo Bujang

GIIAS 2025

Belasan Media Nasional Kawal Kasus Kematian Imam Komaini Sidik: Dugaan Pembunuhan Terencana, Hanya Satu Tersangka Ditahan?

Belasan Media Nasional Kawal Kasus Kematian Imam Komaini Sidik: Dugaan Pembunuhan Terencana, Hanya Satu Tersangka Ditahan?

Keluarga Korban Pembunuhan Imam Komaini Sidik Desak Pengungkapan Komplotan Pelaku: “Kami Percaya Ini Bukan Ulah Satu Orang”

Keluarga Korban Pembunuhan Imam Komaini Sidik Desak Pengungkapan Komplotan Pelaku: “Kami Percaya Ini Bukan Ulah Satu Orang”

Kantor Penasehat Hukum Hendri C Saragi, SH Desak Otopsi Jenazah Imam Komaini Sidik Oleh Tim Medis TNI: Mengungkap Tabir Kematian yang Penuh Tanda Tanya

Kantor Penasehat Hukum Hendri C Saragi, SH Desak Otopsi Jenazah Imam Komaini Sidik Oleh Tim Medis TNI: Mengungkap Tabir Kematian yang Penuh Tanda Tanya
error: Maaf.. Berita ini diprotek