
Sinarpos.com || Opini – Pengangguran, satu kata horror yang menjadi mimpi buruk semua orang. Akan tetapi, kini pengangguran bukan lagi sekedar momok menakutkan, faktanya, ia telah merajalela secara nyata di tengah kita. Bahkan, sangat mungkin bahwa kita sendirilah salah satu dari orang yang ‘menyandang gelar’ tersebut. Dunia saat ini memang sedang menghadapi problem serius di sektor ketenagakerjaan. Sejumlah negara besar melaporkan lonjakan angka pengangguran. Termasuk, beberapa negara besar seperti Inggris, Prancis, AS, dan China. Bahkan, muncul fenomena pura-pura kerja dan kerja tanpa digaji, semata demi dianggap kerja. (CNBCINDONESIA.id, 30-8-25)
Di Indonesia sendiri, meski secara nasional angka pengangguran turun, akan tetapi nyatanya generasi muda mendominasi pengangguran. Separuh dari jumlah keseluruhan pengangguran adalah anak muda. Menurut data BPS, pengangguran usia muda di Indonesia terus menjadi perhatian besar, dengan angka pengangguran terbuka (TPT) anak muda mencapai 16,16% per Februari 2025. Ini menunjukkan bahwa dari 100 orang penduduk berumur 15—24 tahun yang sudah masuk angkatan kerja, terdapat sekitar 16 orang yang menganggur. Angka pengangguran anak muda tetaplah mendominasi dalam skala nasional.(Tempo.co.id, 19-07-25)
Berpangkal Dari Akar yang Sama
Krisis tenaga kerja global ini laksana ngarai yang kian menganga, dimana semua lini khususnya kaum muda, terus terdorong ke ujung tebing. Krisis tenaga kerja global yang menerpa berbagai negara berpangkal dari akar yang sama, yaitu sistem ekonomi yang mendominasi dunia bernama kapitalisme. Sistem tersebut secara kasat mata telah gagal menyediakan lapangan kerja. Artinya, kapitalisme gagal mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat dunia. Beberapa faktornya ialah sebagai berikut :
Pertama, tingginya angka pengangguran disebabkan oleh konsentrasi kekayaan dunia yang tidak merata. Di Indonesia misalnya, ketimpangan kekayaan amat nyata.
Menurut Data Celios, kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia. (Celios, 2024)
Ketika kalangan elit punya akses mudah meraup pundi-pundi emas, rakyat kecil hanya bisa mati-matian bertahan hidup dari hari ke hari, tak punya akses untuk menyentuh sumber daya besar. Jurang kesenjangan ini membuat kesempatan ekonomi hanya beredar pada kalangan elit tertentu.
Kedua, negara lepas tangan dari tugasnya menyediakan lapangan kerja bagi rakyat. Rakyat acapkali dituntut untuk mandiri secara ekonomi dengan berwirausaha sendiri dan membuka lapangan kerja baru, dilarang berharap pada negara. Di sisi lain, bukan rahasia lagi jika pengusaha dalam negeri sering kali di ‘anak tirikan’ oleh negara sendiri. Jangankan bisa mandiri dan stabil, malah gulung tikarlah yang lebih sering menanti di ujung sana.
Ketiga, saat pemerintah mengadakan jobfair pun, upaya yang demikian tidak menjadi solusi karena dunia industri mengalami badai PHK. Tak jarang, satu lowongan kerja diperebutkan oleh ratusan bahkan ribuan pelamar kerja. Pembukaan sekolah dan jurusan vokasi pun tidak menjadikan lulusan mudah mencari kerja, buktinya banyak lulusan sekolah kejuruan yang menganggur.
Walhasil, selama sistem kapitalisme masih memimpin peradaban dunia, termasuk Indonesia, melibas tuntas masalah pengangguran hanyalah angan semu.
Di saat seperti ini, kita patut bertanya-tanya ; “Mau dibawa kemana kaum muda ke depannya?”
Mekanisme Islam Dalam Membuka Lapangan Kerja
Berbeda dengan kapitalisme hari ini, Penguasa dalam Islam berperan sebagai Raa’in yaitu mengurusi rakyatnya, termasuk dalam menjamin terbukanya lapangan pekerjaan.
Rasulullah ﷺ bersabda, “Imam adalah pemelihara urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” [HR. Bukhari-Muslim]
Beberapa mekanisme penyediaan lapangan kerja dalam Islam adalah sebagai berikut :
Pertama, menerapkan pendidikan berbasis akidah Islam secara gratis untuk seluruh rakyat. Tujuan pendidikan dalam Islam bukan sekadar mencetak tenaga kerja yang siap mengisi dunia industri, tetapi menghasilkan individu yang memiliki pola pikir dan pola sikap islami ( syakhshiyah islamiyah ) dan menguasai berbagai ilmu terapan.
Kedua, menanamkan pemahaman pada laki-laki akan kewajiban mencari nafkah, menyediakan lapangan kerja luas, menanggung nafkah bagi para janda miskin, dan memberikan keterampilan serta modal bagi mereka yang membutuhkan.
Ketiga, dalam bidang ekonomi, negara dalam pandangan Islam akan meningkatkan dan mendatangkan investasi halal untuk dikembangkan di sektor riil, baik di bidang pertanian, kelautan, tambang, industri, maupun perdagangan. Negara tidak akan memberi ruang bagi berkembangnya sektor nonriil seperti penerapan kapitalisme. Ini karena sektor nonriil haram dan menyebabkan beredarnya kekayaan di seputar orang kaya saja.
Selain itu, Daarul Islam akan menciptakan iklim yang memfasilitasi untuk membuka usaha melalui birokrasi sederhana, penghapusan pajak, dan melindungi industri dari persaingan yang tidak sehat. Perempuan tidak diwajibkan bekerja. Tugas utamanya adalah sebagai ibu dan pengatur rumah. Kondisi ini akan menghilangkan persaingan antara tenaga kerja perempuan dan laki-laki.
Keempat, di sektor pertanian, di samping intensifikasi, negara juga akan melakukan ekstensifikasi, yaitu menambah luas area pertanian yang akan ditanami dan diserahkan kepada rakyat. Para petani yang tidak memiliki lahan atau modal dapat mengerjakan lahan yang diberi pemerintah.
Pemerintah dapat mengambil tanah mati (tanah yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun) dengan memberikannya kepada mereka yang menghidupkan tanah mati dengan menanaminya atau mendirikan bangunan di atasnya.
Kelima, pada sektor industri, akan dikembangkan industri alat-alat (industri penghasil mesin) sehingga akan menunjang tumbuhnya industri-industri lain.
Keenam, mengatur kepemilikan harta, yaitu kepemilikan individu, umum, dan negara. Dengan kejelasan status kepemilikan harta, negara mengelola harta milik umum untuk kemaslahatan rakyat semata. Islam melarang menyerahkan pengelolaan harta milik umum kepada individu atau swasta. Dengan aturan ini pula, negara dapat membangun industri strategis, semisal pengilangan minyak, pengelolaan tambang, alutsista, pertanian, dan sebagainya yang memungkinkan menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Penyediaan lapangan kerja dalam industri strategis juga akan mendorong masyarakat meningkatkan keterampilan dan kemampuannya.
Ketujuh, penerapan aturan Islam secara sempurna akan menjadikan kekayaan dunia tidak terkonsentrasi pada segelintir pihak. Sebab, Islam mengatur tata kelola kekayaan berdasarkan prinsip syariat, semisal perintah bagi setiap muslim mengeluarkan zakat dan mendistribusikan kepada yang berhak menerimanya, dorongan berinfak, sedekah, dan wakaf, serta pengembangan harta yang dibenarkan oleh syariat Islam.
Demikianlah mekanisme Islam dalam menyediakan lapangan kerja dan menghapuskan kesenjangan. Dengan mekanisme seperti ini, niscaya masyarakat dunia termasuk kaum muda tidak akan lagi terseret gelombang pengangguran. Semua hal ini akan terwujud manakala Islam dibumikan secara sempurna dalam kehidupan ini. Lantas, bukankah sudah saatnya tangan kita terulur untuk turut serta membumikannya kembali? Wallahu A’lam … .
Oleh : Rida Asnuryah (Penulis Blog)