
Sinarpos.com – Beberapa waktu terakhir dikabarkan dua anak ditemukan meninggal diduga akibat bunuh diri di kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi Jawa Barat.
Dua siswa Sekolah Menengah Pertama di kecamatan Baringin kota Sawahlunto Sumatera Barat ditemukan bunuh diri di sekolah selama Oktober 2025.
Berdasarkan hasil penyelidikan sementara oleh kepolisian tidak ada dugaan tindakan bullying dalam kedua kasus ini.
Siswa korban bagindo ditemukan tergantung di ruang kelas Selasa, (28/10/2025)siang sedangkan Arif ditemukan tergantung di ruang OSIS Senin (6/10/2025) malam.
Wakil menteri kesehatan Dante Saksono Harbuwono (30/10/2025) mengungkapkan bahwa data mengkhawatirkan dari program pemeriksaan kesehatan jiwa gratis yang menunjukkan lebih dari 2 juta anak Indonesia mengalami berbagai bentuk gangguan mental.
Data ini diperoleh dari sekitar 20 juta jiwa yang sudah diperiksa. Mengapa hal ini bisa terjadi?? Yang perlu dicermati angka bunuh diri yang terus meningkat di kalangan pelajar, namun tidak semua bunuh diri ini disebabkan oleh bullying.
Fakta ini lebih menggambarkan pada kepribadian yang rapuh terhadap remaja merupakan faktor yang mendorong mereka untuk melakukan bunuh diri.
Kerapuhan kepribadian anak mencerminkan lemahnya dasar aqidah anak remaja. Hal ini adalah implikasi dari pendidikan sekuler yang hanya sekedar mengejar prestasi fisik dan mengabaikan pengajaran agama, agama hanya diajarkan secara teori saja namun tidak memberikan pengaruh yang mendasar pada diri anak.
Paradigma batas usia anak juga berpengaruh, pendidikan barat menganggap bahw anak dikatakan dewasa ketika sudah berusia 18 tahun. Sehingga seringkali anak yang sudah baligh masih diperlakukan sebagai anak-anak dan tidak dididik untuk menyempurnakan akalnya.
Bunuh diri adalah puncak dari gangguan kesehatan mental, dan gangguan mental adalah buah dari berbagai persoalan yang terjadi mulai dari kesulitan ekonomi, konflik orang tua, termasuk perceraian hingga tuntutan gaya hidup dan lain sebagainya.
Hal ini adalah akibat penerapan sistem kapitalisme sekuler dan berbagai faktor tersebut termasuk faktor non klinis yang mempengaruhi gangguan mental, belum lagi paparan media sosial terkait bunuh diri dan komunitas sharing bunuh diri yang banyak yang semakin mendorong anak remaja dan anak-anak semakin rentan untuk melakukan bunuh diri.
Dalam pandangan Islam, kesehatan mental bukan hanya soal psikologi, tetapi terkait erat dengan keimanan, ketenangan hati, dan ketundukan kepada Allah. Sistem kehidupan kapitalisme sekuler yang mengutamakan materi, kebebasan tanpa batas, serta kompetisi yang menekan, telah menghasilkan masyarakat yang kehilangan arah spiritual. Ketika manusia jauh dari Allah, kegelisahan dan kekosongan jiwa menjadi sesuatu yang tidak terelakkan.
Solusinya bukan sekadar memperbanyak layanan konseling atau pemeriksaan mental, meskipun itu penting. Yang lebih mendasar adalah mengembalikan pendidikan kepada kurikulum berbasis syariat Islam, menanamkan akidah yang kuat, membangun keluarga yang kokoh secara ruhani, dan menciptakan lingkungan sosial yang mendukung ketakwaan. Anak-anak harus diajarkan bahwa hidup memiliki tujuan mulia, ujian adalah bagian dari takdir Allah, dan meminta pertolongan kepada-Nya adalah jalan ketenangan.
Selain itu, negara sebagai penanggung jawab utama urusan rakyat mesti hadir dalam setiap kondisi dan memastikan bahwa setiap warga terpenuhi kebutuhan dasarnya baik kebutuhan yang sifatnya materi maupun kebutuhan spiritualnya. Wallahua’lam
Oleh : Renny Marito H,S.Pd.Gr






