Disparitas Pendidikan dan Kebergantungannya pada Perekonomian

Disparitas Pendidikan dan Kebergantungannya pada Perekonomian

Sinarpos.com

Mencerdaskan kehidupan bangsa, merupakan salah satu tujuan mulia yang diemban oleh negara Indonesia. Pendidikan menjadi kebutuhan yang vital bagi rakyat dan sangat penting dalam pembentukan peradaban. Bahkan Nelson Mandela mengatakan bahwa pendidikan adalah senjata terkuat yang bisa digunakan untuk mengubah dunia.

Namun sangat disayangkan, tidak semua masyarakat di Indonesia bahkan di dunia bisa mengecap manisnya pendidikan. Disparitas pendidikan di Indonesia sangatlah tinggi. Angka penduduk yang mengenyam pendidikan terbanyak ada di Jakarta, sedangkan provinsi yang memiliki banyak penduduk dan belum mendapatkan pendidikan sama sekali adalah Provinsi Papua Pegunungan.

Banyak kendala yang dihadapi pemerintah dalam memberikan pendidikan yang layak di Papua khususnya di daerah pegunungan, diantaranya adalah partisipasi dan akses ke sekolah yang terbatas, serta kurikulum nasional yang belum dapat diimplementasikan secara penuh. “Ada aspek budaya, waktu sekolah terbatas karena anak-anak orang asli Papua ini harus membantu orang tuanya berburu dan berkebun, atau (perlu mengikuti) perayaan-perayaan di lokasi setempat,” ujar Direktur Evaluasi Kebijakan Riset, Teknologi, dan Inovasi BRIN, Yan Rianto.

Kepala Biro Perencanaan dan Kerja Sama, Sekretariat Jenderal Kemendikdasmen, Vivi Andriani, mengungkapkan bahwa anggaran yang seharusnya digunakan untuk membangun fisik atau infrastruktur pendidikan, termasuk di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) ini dialokasikan menjadi anggaran belanja kementerian dan lembaga (Kompas.com/ 05 Maret 2025).

Tentunya hal ini semakin memperburuk kondisi pendidikan di Indonesia. Hal ini harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah karena negara berkewajiban memenuhi pendidikan untuk setiap warganya. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, pasal 31 ayat (2) yang berbunyi : “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

Jika akses pengerukan sumber daya alam bisa dilakukan di Papua atau daerah terpencil lainnya dengan mudah, seharusnya akses pendidikan juga bisa tersedia dengan mudah di daerah tersebut. Selain tidak meratanya ketersediaan pendidikan di Indonesia, disparitas lama bersekolah masyarakat di Tanah Air juga harus segera diatasi sebagai bagian upaya untuk memberikan layanan pendidikan yang merata bagi setiap warga negara.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2024 terdapat 30,85% penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun memiliki ijazah SMA atau sederajat. Secara nasional, rata-rata lama sekolah untuk penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas hanya mencapai 9,22 tahun atau setara lulus kelas 9 (lulus SMP). (Metrotvnews.com/ 06 Maret 2025).

Sistem kapitalisme menjadikan pendidikan sebagai komoditas, sehingga akses pendidikan bergantung pada kemampuan ekonomi. Tingginya biaya pendidikan dan rendahnya penghasilan rakyat membuat rakyat sulit meraih jenjang pendidikan sampai pada tingkat perguruan tinggi bahkan pendidikan dasar sekalipun.

Berbagai solusi telah diberikan pemerintah dalam mengusahakan tersedianya pendidikan kepada rakyatnya seperti pemberian KIP (Kartu Indonesia Pintar), beasiswa, sekolah gratis hingga pemberian makanan bergizi gratis untuk murid. Namun realitanya belum semua rakyat bisa mengakses layanan pendidikan. Program-program tersebut hanya untuk kalangan tertentu dan jumlahnya juga terbatas.

Kurikulum pasar menjadikan pendidikan hanya sekadar alat pencetak tenaga kerja murah, bukan hak dasar rakyat. Semakin rendahnya pendidikan seseorang maka semakin rendah penghasilannya bahkan tidak sedikit yang tidak mendapatkan pekerjaan, sehingga angka kemiskinan meningkat, angka kriminalitas juga bisa meningkat.

Banyak pihak swasta yang membangun sekolah-sekolah dengan fasilitas dan kurikulum yang lebih bagus daripada sekolah-sekolah yang disediakan pemerintah secara gratis, namun biaya yang ditawarkan tidaklah murah. Hanya orang-orang yang berpenghasilan tinggi yang bisa menikmati fasilitas dan layanan tersebut.

Melihat sistem pendidikan yang seperti ini, akankah Indonesia Emas 2045 akan dicapai? Akan sulit mencapainya jika angka pendidikan masih rendah, masih banyak yang tidak bisa baca tulis dan masih banyak yang tidak faham dengan apa yang mereka baca. Sangat disayangkan, negara yang kaya dengan sumber daya alam ini tidak mampu memberikan pendidikan yang layak dan merata kepada rakyatnya.

Berbeda dengan sistem Islam, pendidikan merupakan hak bagi setiap warganya tanpa memandang miskin atau kaya. Fasilitas dan kualitas pendidikan terbaik diberikan dengan cuma-cuma dan tersebar secara merata di seluruh daerahnya. Akses pendidikan akan mudah untuk didapat.

Tujuan dari pendidikan dalam sistem Islam adalah untuk membentuk manusia yang bertakwa, berilmu serta berketerampilan tinggi. Tentunya hal itu diraih bukan semata-mata untuk meningkatkan perekonomian, bukan uang yang menjadi tujuan utamanya, namun keridhoan Allahlah yang menjadi tujuan utamanya.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, sistem Islam memiliki dana yang mumpuni yang bersumber dari Baitul Mal, yakni dari pos fa’i, kharaj dan kepemilikan umum. Sumber Daya Alam yang ada dikelola langsung oleh negara dan hasilnya digunakan untuk kepentingan rakyatnya. Haram hukumnya jika SDA tersebut diberikan kepada pihak swasta. Begitu pula halnya dengan pendidikan, negara langsung yang mengelolanya, bukan pihak swasta.

Dengan sistem Islam, akses pendidikan mudah untuk didapatkan, semua bisa merasakan manisnya ilmu yang didapat sehingga terbentuklah peradaban hebat lagi mulia.
Wallahu a’lam bisshowab.

Oleh Nurjihaan (Aktivis Muslimah)