
Oleh : PRIMADONI,S.H
Sinarpos.com — Padang, kota yang selalu saya cintai, pagi itu terasa seperti ikut menahan napas bersama para peserta Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang digelar Rabu–Kamis, 3–4 Desember 2025. Langit tidak begitu cerah, angin pun seperti enggan berwmbus, seolah semuanya menunggu apa yang akan terjadi. Di tengah suasana yang menggantung itu, saya melangkah masuk ke ruang ujian dengan dada yang terasa sesak, seolah dicekik rasa gugup.
Kami terdaftar berjumlah 24 orang, 18 peserta Madya dan 6 Utama, namun dua diantaranya tidak bisa mengikutnya, mereka dinyatakan gugur sebelum ujian dimulai. Dan kami yang tersisa, seperti memasuki lorong sempit tanpa pintu kembali. Hanya ada satu pilihan: maju, apa pun risikonya.
Hari Pertama : Berlomba dengan Waktu yang Terus Mencibir
Penguji memasuki ruangan dengan senyum ramah, tetapi bagi kami, senyuman itu tak lebih seperti bayangan dari kecemasan yang menggumpal. Kami berusaha duduk tegak, tampak percaya diri, seolah siap menghadapi apa pun. Padahal di balik itu, hati kami bergetar.
Saya mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanyalah bagian dari rutinitas kerja. Namun kenyataannya berbeda. Di lapangan, kita berhadapan dengan fakta. Di UKW, kita berhadapan dengan penguji yang menilai tulisan huruf demi huruf dan kata demi kata.
Instruksi pertama diberikan. Waktu mendadak berubah menjadi musuh. Menyusun berita 5W+1H bukan persoalan, tetapi ketika ditambah kupasan mendalam yang harus merujuk undang-undang dan pasal lengkap dalam batas waktu ketat, jemari terasa melambat. Pikiran berlari tanpa arah.
Kemudian tibalah sesi penyusun rencana liputan, sesi yang membuat peserta seperti ditelanjangi secara profesional. Kami harus menata insting, logika, kreativitas, dan pengalaman menjadi satu jembatan kokoh. Dalam situasi tegang, menyusun jembatan itu serasa membangunnya di tengah gempa.
Sore hari, analisis kasus menjadi penutup. Kami memecah persoalan etika, menimbang pilihan, dan mencari jalan di tengah kabut. Hari pertama berakhir, namun tegangannya tidak pergi. Ia menempel di pundak, di dahi, dan di pikiran.
Hari Kedua : Ketika Nada Sambung Menentukan Nasib
Kamis pagi, wajah-wajah lelah menghiasi ruangan. Ada yang meneguk kopi lebih banyak dari biasanya. Ada yang berbicara pada dirinya sendiri, entah memohon ketenangan atau mengumpulkan keberanian.
Hari kedua identik dengan ujian etika, keberimbangan, dan komitmen pada kebenaran. Namun ada satu sesi yang sejak awal membayangi yaitu Uji Jejaring.
Tidak banyak ujian yang membuat wartawan berpengalaman gemetar. Namun uji jejaring adalah pengecualian.
Kami membawa 20 nomor narasumber, bukan daftar sembarangan, tetapi representasi kredibilitas dan perjalanan profesional kami. Penguji menunjuk nama secara acak :
“Hubungi nomor ini”
Kalimat itu sederhana, tetapi rasanya seperti vonis.
Kami harus menelepon narasumber langsung, di depan penguji. Tanpa skenario. Tanpa persiapan.
Tangan saya bergetar menekan layar ponsel. Suara nada sambung terdengar lebih keras dari biasanya. Setiap detik serasa menjadi menit. Setiap menit serasa mengarungi samudra yang tak bertepi.
Ada yang memejamkan mata, ada yang menggigit bibir, ada yang menahan napas. Sebab aturannya jelas, Gagal satu mata uji, maka gagal seluruh rangkaian UKW.
Ketika akhirnya narasumber mengangkat telepon, rasanya seperti batu sebesar gunung runtuh dari dada. Tidak semua peserta beruntung dalam sekali panggil. Ada yang mencoba dua kali, ada yang menunggu dengan wajah pucat. Semua berjuang.
Uji jejaring adalah momen paling manusiawi dan paling jujur. Tak ada tempat bersembunyi. Yang bicara hanyalah kredibilitas kita selama ini.
Lima Detik Sunyi, Lalu Ruangan Meledak
Menjelang siang, semua ujian selesai. Kami duduk menunggu rekapitulasi dengan hati tak karuan. Jam dinding terasa berjalan lambat, seolah ikut menambah ketegangan.
Penguji mulai berbicara.
Lima detik pertama, ruangan sunyi.
Seakan tak ada seorang pun yang berani bernapas.
Lalu kalimat itu keluar:
“Semua peserta dinyatakan berkompeten.”
Sekejap, ruangan pecah oleh tepuk tangan, tawa kecil, dan hembusan napas lega. Ada yang menunduk sambil tersenyum. Ada yang memalingkan wajah untuk menyembunyikan mata berkaca-kaca. Saya sendiri hanya duduk terdiam tanpa kata, membiarkan rasa lega itu meresap, menggantikan ketegangan dua hari terakhir.
UKW Cermin yang Mengembalikan Jati Diri Wartawan
UKW adalah cermin besar, memaksa kami melihat diri sendiri.
Apakah kami teliti ?
Apakah kami berintegritas ?
Apakah jejaring kami benar-benar cair ?
Apakah kami pantas menjaga marwah profesi ini ?
Saya sadar, UKW bukan hanya menguji kemampuan menulis.
Ia menguji keberanian.
Kerendahan hati.
Ketegasan.
Dan komitmen pada kebenaran.
Bagi saya, keberhasilan ini adalah buah dari proses pembelajaran yang intens. UKW bukan hanya soal kelulusan atau sertifikat, tetapi cermin bagi setiap wartawan untuk menilai kembali sikap profesional di lapangan. Selama dua hari ini, saya menyadari pentingnya menjaga integritas, ketelitian, dan kecepatan dalam bekerja tanpa meninggalkan etika jurnalistik.
Catatan ini saya tulis sebagai bentuk refleksi, sekaligus dorongan bagi rekan jurnalis lainnya untuk tidak ragu mengikuti UKW. Di tengah dinamika media yang berkembang cepat, kompetensi adalah modal utama menjaga marwah profesi dan menghasilkan karya jurnalistik yang kredibel dan bertanggung jawab.***






