
“Ibu, kenapa anak-anak di Gaza harus mati saat sedang mengantre obat?”
Pertanyaan itu datang tiba-tiba dari mulut kecil putraku yang berusia sembilan tahun. Ia memeluk gulingnya erat, sembari menatap layar televisi yang baru saja menampilkan berita tentang serangan di Gaza. Sepuluh anak syahid hari itu. Mereka tak sedang bermain atau memegang senjata. Mereka hanya sedang mengantre di klinik. Tapi hidup mereka direnggut begitu saja oleh rudal-rudal kejam dari langit.
Aku terdiam. Tidak tahu harus menjawab apa. Hatiku seperti diremas. Tanganku gemetar menggenggam remote.
“Kenapa, Bu? Apa mereka jahat?”
Aku menggeleng pelan. “Tidak, Nak… mereka tidak jahat. Mereka hanya tinggal di tempat yang dunia seakan tidak peduli lagi.”
Gaza tak lagi seperti kota biasa. Ia seperti penjara tanpa atap. Di sana, bantuan makanan disabotase, air bersih sulit didapat, dan rumah sakit tidak bisa berfungsi karena blokade. Bahkan, titik pengambilan bantuan pun kini menjadi sasaran rudal. Zionis seakan menguji batas baru dari kekejaman.
Putra kecilku memandangku lagi. “Apa mereka tidak punya teman, Bu? Kok tidak ada yang bantu?”
Aku menarik napas panjang. “Mereka punya banyak saudara, Nak. Tapi sebagian dari kita… belum sadar.”
Banyak pemimpin dunia, termasuk dari negeri-negeri Muslim masih memilih diam atau sekadar mengutuk. Beberapa bahkan menjalin kerja sama dengan penjajah. Sementara rakyat mereka, seperti kita, hanya bisa menonton dan menangis.
Aku teringat pernyataan Richard Falk, mantan pelapor khusus PBB, yang menyebut apa yang dilakukan Israel adalah genosida yang sistematis. Tapi siapa yang peduli?
“Bu… kalau semua tahu, kenapa enggak ada yang ngelawan?” tanya anakku polos.
Aku tersenyum pahit. “Karena banyak yang tidak tahu harus mulai dari mana…”
Malam itu, aku tak bisa tidur. Aku membuka Al-Qur’an dan membaca surat Asy-Syura ayat 30:
“Dan apa saja yang menimpa kamu, maka itu disebabkan oleh ulah tanganmu sendiri.”
Aku sadar, sebagai seorang Ibu, Muslimah, dan manusia, aku telah lalai. Aku belum cukup menyampaikan kebenaran, belum cukup mengajarkan anakku tentang jihad, keadilan, dan cinta pada umat. Padahal Rasulullah Saw. dulu tak tinggal diam saat umat tertindas.
Beliau bangun peradaban, bukan sekadar opini. Beliau mencetak kesadaran, bukan sekadar emosional. Itulah thariqah dakwah yang sebenar-benarnya.
Esok paginya, aku duduk bersama anakku. Kali ini, aku ingin berbicara dari hati.
“Nak,” kataku pelan, “Gaza bisa bebas… tapi bukan dengan marah-marah atau demo semata. Kita butuh bangun dari dalam. Umat ini butuh sadar bahwa hanya Islam yang punya solusi untuk ini semua.”
“Gimana caranya, Bu?”
“Kita harus belajar Islam dengan benar. Dakwah. Menyadarkan orang lain. Dan suatu hari, saat umat ini bersatu dan punya pemimpin yang taat pada Allah Swt… kita akan lihat Gaza bebas dengan kehormatan.”
Saat aku menulis ini, Gaza masih terbakar. Anak-anak masih tidur dalam ketakutan. Tapi aku tak ingin putus asa. Karena di rumah-rumah seperti rumahku, ada anak-anak kecil yang bertanya. Dan jika para Ibu seperti aku mau jujur menjawab, dan mengajak mereka tumbuh dalam iman dan semangat dakwah, harapan itu akan hidup.
Suatu hari, aku percaya, akan ada anak kecil dari Gaza yang berkata,
“Ibu, Palestina sudah merdeka. Karena umat ini akhirnya bangkit.”
Oleh : Evi Ummu Fahhala Spd