
SINARPOSII-Garut – Suasana tegang terjadi di kawasan Jalan Otista Raya, Desa Langensari, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, Jumat siang (1/11). Puluhan santri dan para sepuh dari Pondok Pesantren Al Falah Biru turun langsung ke lokasi untuk menghadang proses pembentengan dan pembangunan di atas tanah wakaf yang sejak puluhan tahun lalu digunakan sebagai lahan pendidikan agama dan sekolah Islam.
Tanah tersebut kini dipersoalkan karena telah diklaim menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Tonny Kusmanto, seorang pengusaha yang disebut-sebut memiliki kepentingan atas lahan tersebut.
Hal itu dibenarkan oleh Enggah Yusup, Kepala Sekolah SMA YBHM (Yayasan Baitul Hikmah Al Ma’muni) yang menaungi SMA dan SMP Islam di kawasan itu. Ia mengungkapkan bahwa para santri datang bukan untuk membuat keributan, melainkan menjaga dan mempertahankan tanah wakaf yang selama hampir setengah abad menjadi pusat pendidikan agama di Garut.
“Para santri dari Al Falah Biru memang sengaja datang untuk menghadang pembangunan pembentengan di sekitar sekolah SMA dan SMP kami. Sejak tahun 1976, tempat ini berdiri sebagai sarana pendidikan agama dan sekolah Islam di atas tanah wakaf,” ujar Yusup.
Lebih lanjut, Yusup menyebut bahwa proses pembangunan sudah dilakukan secara sepihak, bahkan sebagian area telah dibeton atas instruksi seseorang yang mengaku memiliki SHM.
“Kami tidak akan tinggal diam. Kami akan bertahan sampai ada kepastian hukum. Kami meminta negara hadir dan menegakkan keadilan atas tanah wakaf yang diserobot dan tiba-tiba menjadi sertifikat hak milik seorang oknum,” tegasnya.
Menurutnya, pihak pesantren dan yayasan akan mengambil langkah menyeluruh, mulai dari gerakan moral, sosial, dan politik, hingga menempuh jalur hukum agar tanah wakaf tersebut kembali pada fungsinya semula.
“Ini bukan sekadar masalah lahan, tapi masalah kehormatan umat. Wakaf itu suci, diperuntukkan bagi pendidikan dan ibadah, bukan diperjualbelikan,” pungkasnya.
Sementara itu, hingga berita ini diturunkan, pihak Tonny Kusmanto belum memberikan keterangan resmi. Di lokasi, sejumlah aparat desa dan tokoh masyarakat turut memantau situasi agar tidak terjadi bentrokan antara warga dan pihak pekerja yang sudah lebih dulu berada di lapangan.






