
Sebagai Instrumen Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Kehutanan
Oleh: LBH CAKRA MUHTADIN
Jl. Cipamokolan RT 004/001, Kel. Derwati, Rancasari, Kota Bandung 40292
Penulis:
- DIKDIK SODIKIN, S.H. ( KETUM LBH CAKRA MUHTADIN )
- ASEP WAHYUDIN, S.H. ( SEKERETARIS UMUM )
- Wawan Hermawan (BENDAHARA UMUM)
Abstrak
Analisis ini menguraikan secara sistematis kerangka hukum, kelembagaan, dan strategi ekonomi dari kebijakan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) sebagai upaya untuk memperkuat pemberdayaan masyarakat kehutanan di Pulau Jawa. KHDPK dimaksudkan untuk mengoreksi ketimpangan penguasaan lahan hutan oleh korporasi negara serta membuka akses legal masyarakat terhadap sumber daya hutan secara lestari. Penelitian ini menegaskan bahwa KHDPK tidak hanya bersifat ekologis, tetapi juga merupakan instrumen reformasi sosial-ekonomi dalam konteks reforma agraria dan pembangunan berkelanjutan.
✓ 1. Pendahuluan
Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) merupakan kebijakan yang lahir dari semangat reforma agraria dan perhutanan sosial dalam kerangka hukum nasional yang direvitalisasi melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023.
Kebijakan ini mereposisi pola pengelolaan hutan negara di Pulau Jawa yang selama beberapa dekade didominasi oleh Perum Perhutani, menuju pengelolaan berbasis masyarakat yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Secara normatif, KHDPK diatur dalam PP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan (khususnya Pasal 147–149) dan dijabarkan lebih teknis dalam Permen LHK Nomor 7 Tahun 2021 serta Permen LHK Nomor 4 Tahun 2023.
Adapun dasar penetapan wilayah KHDPK dituangkan dalam Keputusan Menteri LHK Nomor SK.287/MENLHK/SETJEN/PLA.0/4/2022, yang menetapkan luas areal sekitar 1,1 juta hektar di Pulau Jawa.
Kebijakan ini bertujuan menjadikan masyarakat desa hutan sebagai pelaku utama dalam pemanfaatan sumber daya hutan, baik melalui Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan (HKm), maupun Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
✓ 2. Peningkatan Ekonomi Masyarakat Melalui Kehutanan
Secara ekonomi, KHDPK merupakan solusi sistemik untuk mengatasi ketimpangan penguasaan hutan, konflik tenurial, dan kemiskinan struktural di sekitar kawasan hutan.
Masyarakat yang sebelumnya hanya menjadi objek dalam kebijakan kehutanan, kini memperoleh akses legal dan kepastian hukum melalui skema Perhutanan Sosial (PS) yang difasilitasi oleh negara.
Pertama, akses legal dan kepastian hukum menjadi modal utama bagi masyarakat.
Dengan Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial di areal KHDPK, masyarakat memperoleh hak kelola yang diakui secara hukum, termasuk hak untuk mengelola hasil hutan kayu dan non-kayu, tanpa harus bersinggungan dengan kepentingan korporasi.
Kedua, pengembangan Multi Usaha Kehutanan (MUK) menjadi strategi penting dalam mendorong diversifikasi ekonomi masyarakat hutan.
Melalui Permen LHK No. 4 Tahun 2023 dan Permen LHK No. 8 Tahun 2021, masyarakat dapat melakukan pengelolaan hutan secara multi guna:
Di hutan produksi, masyarakat diperbolehkan menanam tanaman semusim hingga 20% dari luas areal kelola.
Di hutan lindung, dapat dikembangkan tanaman multi purpose (MPTS) hingga 30% dari luasan areal pengelolaan.
Ketiga, kebijakan KHDPK juga membuka peluang redistribusi tanah melalui program Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Sebagian areal KHDPK dapat ditetapkan sebagai objek reforma agraria untuk redistribusi kepada petani dan masyarakat desa hutan.
Skema ini tidak hanya memberikan kepastian hak atas tanah, tetapi juga berfungsi sebagai alat pengentasan kemiskinan dan penguatan ekonomi pedesaan yang berkelanjutan.
✓ 3.Advokasi Hukum dan Perlindungan Hak Masyarakat
Dalam konteks implementasi di lapangan, advokasi hukum berperan vital untuk menjamin hak masyarakat tidak tersingkir akibat proses birokratis atau konflik kepentingan.
Strategi advokasi yang perlu dikedepankan antara lain:
✓ 1. Kepastian batas areal, dengan memastikan proses penandaan batas ruang kelola PS pada KHDPK dilakukan secara transparan, partisipatif, dan dituangkan dalam berita acara penandaan batas.
✓ 2.Penyelesaian sengketa, baik secara administratif di PTUN maupun non-litigasi melalui mediasi, apabila terjadi tumpang tindih keputusan tata usaha negara.
✓ 3. Tuntutan ganti rugi perdata, dengan dasar Pasal 1365 KUHPerdata, untuk melindungi masyarakat dari kerugian akibat kesalahan administratif atau pelanggaran hak kelola.
✓ 4.Pendampingan tindak pidana kehutanan, khususnya dalam kasus perambahan, illegal logging, atau penyalahgunaan izin, melalui pelaporan ke Balai Gakkum KLHK dan Kepolisian.
Advokasi ini tidak hanya bersifat reaktif, tetapi juga harus proaktif dalam mengawal implementasi KHDPK agar sesuai asas keadilan sosial dan kelestarian ekologis.
✓ 4. Kewajiban Pemerintah Daerah
Meskipun secara administratif pengelolaan KHDPK berada di bawah kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), peran Pemerintah Daerah (Pemda) sangat penting dalam memastikan efektivitas implementasinya di tingkat tapak.
Pemda memiliki kewajiban untuk:
✓ 1.Melakukan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan antara pusat dan daerah, terutama melalui Dinas Kehutanan Provinsi dan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
✓ 2.Memberikan pendampingan masyarakat melalui fasilitasi kelembagaan kelompok tani hutan, pembinaan usaha produktif, dan edukasi pengelolaan hutan lestari.
✓ 3.Menyediakan dukungan administratif, seperti surat keterangan asal-usul garapan dari kepala desa/lurah untuk calon pengelola PS sebagaimana diatur dalam Permen LHK No. 4/2023.
✓ 4. Mengintegrasikan kebijakan KHDPK dalam rencana pembangunan daerah (Renstra Provinsi dan Kabupaten) agar sinkron dengan kebijakan ekonomi hijau nasional.
✓ 5.Fasilitas Pemerintah dan Rencana Strategis Peningkatan Ekonomi
Untuk memperkuat posisi masyarakat dalam pengelolaan KHDPK, pemerintah memberikan berbagai fasilitas dan dukungan, antara lain:
Akses tanah legal melalui penetapan KHDPK dan program TORA.
Pendampingan Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) oleh tenaga pendamping lapangan, termasuk mantan karyawan Perhutani.
Pengembangan usaha hasil hutan kayu dan bukan kayu (HHBK), seperti tanaman pangan, buah, dan obat-obatan herbal.
Bantuan sarana dan prasarana produksi, serta pelatihan pengolahan hasil hutan untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk lokal.
Sementara itu, Rencana Strategis (Renstra) KLHK 2020–2024 menargetkan peningkatan luas hutan kelola masyarakat, peningkatan kontribusi sektor kehutanan terhadap ekonomi nasional, serta penguatan kemandirian desa di kawasan KHDPK.
✓ 6. Kesimpulan
Kebijakan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK) merupakan instrumen hukum dan ekonomi yang strategis dalam mengubah konflik agraria menjadi peluang pemberdayaan ekonomi masyarakat hutan.
Dengan dukungan regulasi yang kuat, advokasi hukum yang konsisten, dan sinergi antar lembaga, KHDPK dapat menjadi model baru pembangunan kehutanan yang inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan sosial.
Kunci keberhasilannya terletak pada partisipasi masyarakat, transparansi tata kelola, serta keberpihakan pemerintah terhadap hak kelola rakyat atas sumber daya alam.
LBH CAKRA MUHTADIN
Jl. Cipamokolan RT.004/001, Kel. Derwati, Rancasari, Kota Bandung 40292