Search for:
  • Home/
  • JAWA/
  • Diberhentikan Dari Jabatannya, Mantan Ketua KPU Kabupaten Garut Tempuh Upaya Administratif
Diberhentikan Dari Jabatannya, Mantan Ketua KPU Kabupaten Garut Tempuh Upaya Administratif

Diberhentikan Dari Jabatannya, Mantan Ketua KPU Kabupaten Garut Tempuh Upaya Administratif

SINARPOS.com, Jakarta || Mantan Ketua KPU Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat, Dian Hasanudin, menempuh Upaya Administratif Keberatan yang diajukan ke KPU RI sehubungan dengan pemberhentian jabatannya secara tetap berapa waktu lalu.

Keberatan tersebut diajukan secara tertulis oleh Pengacaranya, Geri Permana pada Kamis, 8 Mei 2025 di Gedung KPU RI yang berlokasi di Jalan Imam Bonjol Nomor 29, Menteng, Jakarta Pusat, dan salinannya telah ditembuskan ke DKPP, kata Geri.

Keberatan ini dilakukan lantaran Dian Hasanudin merasa dirugikan atas terbitnya Keputusan KPU Nomor 369/2025 yang menindak lanjuti Putusan DKPP Nomor 278-PKE-DKPP/XI/2024 yang dibacakan pada 14 April 2015 dalam sidang kode etik terbuka untuk umum.

Menurut Geri, kliennya itu secara khusus sangat keberatan dengan Diktum Kesatu Keputusan KPU 369/2025 jo. Amar Kedua Putusan DKPP 278-PKE-DKPP/XI/2024 yang pada pokoknya menyatakan memberhentikan dirinya secara tetap dari jabatan Ketua merangkap Anggota KPU Kabupaten Garut Periode 2024-2029.

Bila dilihat, sanksi yang dijatuhkan berbeda dengan empat Komisioner KPU Kabupaten Garut lainnya yang juga menjadi Teradu di DKPP. Komisioner lainnya hanya dijatuhi sanksi etik berupa peringatan keras terakhir. Sementara kliennya dijatuhi sanksi etik berupa pemberhentian secara tetap sebagai Ketua merangkap Anggota. Ini jelas menunjukkan adanya disparitas sanksi yang diberikan.

Lebih lanjut Geri mengatakan, pemberhentian tetap tidak sepatutnya diberikan kepada Dian Hasanudin seorang diri. Sebab dalam menjalankan tugas, wewenang dan kewajiban sebagai penyelenggara pemilu di Kabupaten Garut dilakukan tak seorang diri, namun dilakukan secara kolektif-kolegial bersama komisioner lainnya.

Pengacara muda asal Kabupaten Bogor ini pun membeberkan sejumlah alasan sehubungan dengan Upaya Administratif Keberatan yang ditempuhnya itu, di antaranya:

Pertama, dalam bagian pertimbangan Putusannya, DKPP tidak menguraikan secara jelas dan konkret terkait perbuatan mana yang dilakukan oleh Dian Hasanudin sehingga harus diberhentikan secara tetap dari jabatannya. Padahal dalam doktrin dan teori, penjatuhan sanksi terhadap seseorang itu harus diuraikan secara jelas dan nyata perbuatannya yang kemudian dihubungkan dengan rumusan norma yang berlaku.

Kedua, Peristiwa yang diadukan ke DKPP oleh Firmansyah selaku Pengadu sebenarnya lebih tepat dikualifikasi sebagai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau sengketa hasil yang kewenangannya dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi secara absolut sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

Ketiga, DKPP hanya melakukan pemanggilan kepada Dian Hasanudin sebanyak dua kali saja. Dengan kata lain, satu kali panggilan untuk pemeriksaan, dan satu kalinya lagi agenda pembacaan putusan. Ini menunjukkan bahwa DKPP terlalu terburu-buru dalam memeriksa dan mengambil kesimpulan hingga sampai pada penjatuhan putusan etik yang merugikan.

Keempat, terjadi disparitas sanksi yang dijatuhkan oleh DKPP jika dibandingkan dengan sanksi yang dijatuhkan kepada Teradu lainnya dalam registrasi perkara yang sama. Dimana para Teradu lainnya yang juga merupakan Komisioner KPU Kabupaten Garut Periode 2024-2029, hanya dijatuhi sanksi etik berupa peringatan keras terakhir saja. Padahal jika merujuk pada Pasal 22 ayat (2) Peraturan DKPP 2/2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu, apabila Penyelenggara Pemilu dijatuhkan sanksi teguran tertulis, maka pilihan bentuk sanksinya adalah peringatan; atau peringatan keras. Lantas, di mana datangnya sanksi peringatan keras terakhir itu.

Dalam konteks ini, bukan berarti Dian Hasanudin memberikan pengakuan atas perbuatan yang dituduhkan sebagai pelanggaran kode etik. Namun hanya saja, ingin mempertanyakan soal kepastian aturan dan standar yang digunakan oleh DKPP dalam memandang dan menerapkan persoalan etika. Sebab, selama ini tak ada ukuran dan standar yang jelas. Ini bisa dilihat dari berbagai putusan yang dikeluarkan oleh DKPP itu sendiri.

Kelima, Putusan DKPP diterbitkan dengan adanya dugaan pertentangan terhadap Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB), dan juga peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebab jika diletakkan pada dimensi teoritis dan yuridis, proses pemeriksaan dan penyelesaian perkara pelanggaran kode etik oleh DKPP, tidak boleh menabrak peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip yang berlaku.

Atas kondisi yang telah dibeberkan, maka Upaya Administratif ini pun ditempuh sebagai ‘hak’ yang digunakan dan dimiliki oleh Dian Hasanudin sebagaimana dijamin oleh Pasal 75 sampai Pasal 78 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan yang kemudian diperkuat oleh Putusan MA Nomor 429/K/TUN/2021.

Selain itu, Upaya Administratif ini juga dilakukan untuk menjadi pelengkap administrasi dalam menempuh Gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana dalam area praktik yang terjadi selama ini, tutup Geri. ( yd )


Eksplorasi konten lain dari SINARPOS.com

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

Eksplorasi konten lain dari SINARPOS.com

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca