
“Tidak Perlu Lewat Media Massa, Cukup Pakai Medsos”: Sebuah Pernyataan yang Menggemparkan
SINARPOS.com Bandung, 29 Juni 2025 || Pernyataan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi (KDM), yang secara terbuka menyatakan bahwa pemerintah tidak perlu bekerja sama dengan media massa dan cukup menggunakan media sosial dalam menyampaikan informasi publik, kini menuai gelombang kritik luas.
Dinyatakan dalam sebuah forum akademik di Universitas Pakuan (Unpak) Bogor, dan disiarkan melalui kanal resmi YouTube UNPAK TV pada Selasa, 24 Juni 2025, pernyataan itu dianggap mereduksi peran vital pers dalam sistem demokrasi.
Alih-alih memperkuat transparansi dan akuntabilitas, Gubernur justru menyinggung satu dari empat pilar demokrasi: PERS. Kontroversi ini tidak hanya menuai kritik dari kalangan jurnalis, tetapi juga menjadi perhatian serius pegiat kebebasan informasi, akademisi, hingga kelompok masyarakat sipil seperti Komunitas Madani Purwakarta.
Analisis Yuridis Ketua Komunitas Madani Purwakarta (KMP) Zaenal Abidin: Pernyataan Gubernur Bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum

Komunitas Madani Purwakarta menilai perlu dilakukan kajian hukum secara menyeluruh terhadap pernyataan tersebut. Kajian ini penting, mengingat pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan fundamental:
Apakah ucapan seorang gubernur yang menganjurkan penggunaan media sosial ketimbang media massa dalam komunikasi publik sejalan dengan konstitusi, hukum tata negara, dan prinsip keterbukaan informasi publik?
Poin-poin Kritis Hasil Analisis:
- Reduksi Peran Pers = Kemunduran Demokrasi
Pers memiliki peran strategis dalam demokrasi: sebagai media informasi, kontrol sosial, pendidikan publik, serta forum partisipasi masyarakat. Ini tertuang dalam UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28F. Ketika pejabat publik menyepelekan keberadaan pers, maka hal tersebut bukan hanya bentuk delegitimasi profesi jurnalis, melainkan juga pelemahan institusi demokrasi itu sendiri.
- Medsos Tidak Memiliki Mekanisme Verifikasi dan Akuntabilitas
Berbeda dengan media massa yang tunduk pada kode etik jurnalistik dan regulasi Dewan Pers, media sosial bersifat bebas, tanpa standar, dan rawan disinformasi. Mengandalkan media sosial sebagai satu-satunya saluran komunikasi publik membuka ruang bagi hoaks, framing sepihak, serta pembentukan opini yang tak terkontrol. Media sosial bukanlah alat resmi negara.
- UU KIP dan UU Pemda Wajibkan Saluran Informasi yang Sah dan Akuntabel
Dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) serta UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa pemerintah wajib menyediakan informasi yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan. Kerja sama dengan media resmi menjadi sarana untuk memastikan keterbukaan ini berlangsung dalam koridor hukum.
- Delegitimasi Profesi Jurnalis
Pernyataan “tidak perlu media massa” secara tidak langsung memperlemah posisi jurnalis sebagai pelaksana kerja jurnalistik yang terverifikasi. Ini bisa menimbulkan ketegangan antara pemerintah daerah dengan media, serta memperbesar celah untuk penyalahgunaan informasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Respon Keras dari Dunia Pers: “Ini Bahaya bagi Demokrasi!”

Doni Ardon, Direktur Media Informa Indonesia, menyebut bahwa ucapan KDM telah melukai insan pers dan menabrak semangat UU Pers.
“Sebagai pendapat pribadi, boleh saja. Tapi jika diucapkan dalam kapasitas resmi sebagai Gubernur, pernyataan itu tidak pantas. Ini menyentuh hak publik atas informasi yang kredibel dan merendahkan martabat pers,” tegas Doni.
Baca Juga:
Kawal Hari Buruh di Kantor Gubernur, Kapolda Tegaskan Beri Pengamanan dan Pelayanan Terbaik
Ia menambahkan bahwa persoalan KDM seharusnya bukan dengan media, melainkan dengan konten kreator liar di media sosial yang sering memotong-potong video demi kepentingan viralitas.
“Jangan Samakan Pers dengan Medsos”
Selain mendapat respon keras dari berbagai media, Pimpinan Redaks Media Nasional SINARPOS.com bersama NUSAHARIANMEDIA.COM, Denny M. dan Diki Kusdian juga mengecam keras pernyataan tersebut. Menurutnya, media sosial dan media pers memiliki perbedaan fundamental:
- Media Pers: Produk jurnalistik harus melalui proses verifikasi, cover both sides, ditulis oleh wartawan profesional, tunduk pada kode etik, dan memiliki badan hukum serta tanggung jawab perpajakan.
- Media Sosial: Siapa saja bisa mengunggah, tidak ada verifikasi, akun bisa anonim, dan konten dapat dipalsukan atau dihapus tanpa jejak.
“Jika pejabat publik mengandalkan media sosial, maka justru membuka ruang yang lebih besar bagi disinformasi,” ujar Diki.
Ia juga menegaskan bahwa media resmi berkontribusi terhadap negara melalui pendapatan pajak dari iklan, advertorial, dan kerja sama publikasi. Sementara itu, sebagian besar penghasilan dari media sosial tidak tercatat secara resmi dan tidak menyumbang ke kas negara.
Desakan Klarifikasi Terbuka dari Gubernur Jawa Barat
Komunitas Madani Purwakarta bersama insan pers mendesak Gubernur Jawa Barat untuk memberikan klarifikasi terbuka terkait pernyataan tersebut. Klarifikasi ini penting untuk mencegah kesalahpahaman berkepanjangan serta memperbaiki hubungan antara pemerintah daerah dan media massa.
Tuntutan Komunitas Madani:
- Gubernur memberikan klarifikasi terbuka di forum resmi dan netral.
- Seluruh pejabat publik tetap menggunakan media massa sebagai mitra komunikasi utama dalam penyebaran informasi publik.
- Mendorong sinergi kolaboratif antara pemerintah daerah, media, dan masyarakat sipil dalam mencegah disinformasi dan menjaga kualitas demokrasi.
Pers Tidak Bisa Digantikan oleh Media Sosial
Pernyataan Gubernur Dedi Mulyadi, meski mungkin didasari pengalaman pribadi terhadap penyalahgunaan informasi di media sosial, tidak bisa dijadikan dasar untuk mengesampingkan peran media massa. Demokrasi yang sehat butuh pers yang kuat.
Media sosial hanya alat komunikasi tambahan, bukan pengganti. Jika pernyataan seperti ini tidak segera dikoreksi, maka akan menjadi preseden buruk bagi pejabat publik lainnya dan mempercepat kemunduran kualitas demokrasi informasi di Indonesia.
Opini Publik dan Tanggung Jawab Negara
Negara tidak boleh abai terhadap keresahan publik yang muncul dari pejabatnya sendiri. Ketika ucapan seorang gubernur dapat memicu krisis kepercayaan terhadap media, maka diperlukan intervensi politik yang bijak, penguatan literasi media, dan penghormatan penuh terhadap hukum yang berlaku.
“Tanpa pers yang bebas dan bertanggung jawab, tidak akan ada pemerintahan yang bersih dan akuntabel.”