Search for:
  • Home/
  • INVESTIGASI/
  • Kapal Ikan Ilegal di Sibolga-Tapteng: Surat Mati, Bos dari China, Operasi Jalan Terus, Negara Dirugikan
Kapal Ikan Ilegal di Sibolga-Tapteng: Surat Mati, Bos dari China, Operasi Jalan Terus, Negara Dirugikan

Kapal Ikan Ilegal di Sibolga-Tapteng: Surat Mati, Bos dari China, Operasi Jalan Terus, Negara Dirugikan

SINARPOS.comSIBOLGA, TAPANULI TENGAH, 7 Mei 2025 || Tim investigasi menemukan sejumlah kapal penangkap ikan di perairan Sibolga dan Tapanuli Tengah yang beroperasi tanpa dokumen resmi seperti Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI). Beberapa kapal bahkan menggunakan surat izin yang telah kedaluwarsa. Meskipun demikian, kapal-kapal tersebut tetap melaut dan melakukan penangkapan ikan secara aktif.

Hasil pendalaman investigasi menemukan adanya dugaan kuat bahwa kapal-kapal tersebut dikendalikan oleh pemilik atau “bos” yang berasal dari Tiongkok (China). Bos-bos ini diduga memiliki jaringan usaha penangkapan ikan yang berbasis di luar negeri namun memanfaatkan pelabuhan lokal sebagai basis operasi.

Mereka menggunakan bendera Indonesia namun secara operasional dikelola dengan sistem joint operation atau leasing melalui perantara lokal. Beberapa awak kapal bahkan berasal dari China, sementara nelayan lokal hanya dijadikan pekerja lapangan.

Menurut sumber nelayan, kapal-kapal besar ini berlabuh di pelabuhan Sibolga-Tapteng namun hasil tangkapan diekspor langsung ke luar negeri, melewati sistem pengepul yang dikendalikan jaringan bos asing tersebut.

Nelayan lokal mengeluhkan bahwa kapal-kapal ilegal tersebut tetap beroperasi tanpa tindakan tegas dari aparat berwenang. Beberapa sumber menyebutkan adanya dugaan “tangkap lepas” terhadap kapal-kapal yang melanggar zona penangkapan ikan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Ketidakjelasan alasan pembebasan kapal ini memicu kecurigaan dan kemarahan nelayan setempat.

Beberapa kapal diketahui menggunakan alat tangkap yang dilarang, seperti pukat trawl (pukat harimau), yang merusak habitat dan kelangsungan ekosistem laut. Penggunaan alat ini telah dilarang melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015.

Selain itu, sumber menyebutkan ada praktik suap atau pungutan liar yang membuat kapal-kapal ilegal ini sulit ditindak secara hukum.

Dampak dan Kerugian Negara:

Sebagian kapal juga teridentifikasi menggunakan pukat trawl (pukat harimau) dan alat tangkap tidak ramah lingkungan lain, melanggar Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015.

Praktik illegal fishing di Indonesia menyebabkan kerugian negara yang signifikan. Menurut data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), kerugian akibat illegal fishing mencapai sekitar 23 miliar Dollar AS per tahun. Dampak lainnya meliputi:

  • Berkurangnya penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
  • Hilangnya devisa negara.
  • Berkurangnya peluang kerja bagi nelayan lokal.
  • Ancaman terhadap kelestarian sumber daya ikan.
  • Kerusakan ekosistem laut akibat penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

Tindakan penangkapan ikan tanpa izin melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan perubahannya dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009. Sanksi yang diatur meliputi:

  • Pidana penjara 5 hingga 7 tahun dan denda Rp 1,5 miliar hingga Rp 20 miliar bagi pelaku yang tidak memiliki SIUP, SIPI, dan SIKPI.
  • Pidana penjara 1 tahun dan denda Rp 200 juta bagi nakhoda yang tidak memiliki surat izin berlayar.
  • Tindakan khusus oleh kapal pengawas perikanan, seperti penghentian, pemeriksaan, penahanan, dan penenggelaman kapal yang melanggar.

UU No. 31 Tahun 2004 jo UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan:

  • Pasal 92: pidana 6 tahun + denda Rp 20 miliar untuk penangkapan ikan tanpa izin.
  • Pasal 94A: tindakan administratif hingga penenggelaman kapal asing ilegal.

UNCLOS 1982:

  • Hak penuh Indonesia atas sumber daya laut dalam ZEE 200 mil.
  • Kapal asing ilegal melanggar kedaulatan, dapat ditangkap atau ditenggelamkan.

Perlunya Tindakan Penegak Hukum

Praktik penangkapan ikan ilegal di perairan Sibolga dan Tapanuli Tengah merupakan masalah serius yang merugikan negara dan mengancam keberlanjutan sumber daya laut.

Diperlukan tindakan tegas dan kolaborasi semua pihak untuk memberantas praktik ini demi kesejahteraan nelayan lokal dan kelestarian ekosistem laut.

  1. Tindakan tegas lintas lembaga: koordinasi KKP, Bakamla, TNI AL, Polairud, dan Bea Cukai.
    Penegakan Hukum yang Tegas: Aparat penegak hukum harus melakukan tindakan tegas terhadap kapal-kapal yang beroperasi tanpa izin, termasuk penahanan dan penenggelaman kapal sesuai dengan peraturan yang berlaku.
  2. Perketat pengawasan pelabuhan dan aktivitas ekspor hasil laut., Pemeriksaan mendalam jaringan kepemilikan kapal: telusuri peran perantara lokal dan bos asing.
  3. Transparansi dan Akuntabilitas: Meningkatkan transparansi dalam proses perizinan dan pengawasan kapal penangkap ikan untuk mencegah praktik korupsi dan kolusi.
  4. Sosialisasi ke masyarakat nelayan lokal: cegah keterlibatan dalam praktik ilegal.
    Edukasi dan Sosialisasi: Melakukan edukasi kepada nelayan tentang pentingnya mematuhi peraturan perikanan dan dampak negatif dari illegal fishing terhadap ekosistem laut dan ekonomi lokal.
  5. Tindak pidana pencucian uang (TPPU) terhadap aset hasil kejahatan illegal fishing.
    Kolaborasi Antar Lembaga: Meningkatkan koordinasi antara KKP, PSDKP, TNI AL, dan Polri dalam pengawasan dan penindakan terhadap praktik illegal fishing.

Berdasarkan UNCLOS 1982 (Konvensi PBB tentang Hukum Laut), setiap negara berhak mengelola dan melindungi sumber daya alam dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE)-nya. Kapal-kapal asing yang beroperasi tanpa izin di perairan Indonesia melanggar hukum internasional dan dapat ditindak dengan penahanan, penyitaan, bahkan penenggelaman kapal sesuai hukum nasional.

Dugaan Keterlibatan Pejabat Lokal dan Aparat Penegak Hukum

Investigasi mengungkap bahwa sejumlah kapal penangkap ikan ilegal diduga dimiliki oleh pejabat di Pemerintah Kota Sibolga dan Kabupaten Tapanuli Tengah. Kapal-kapal ini bebas beroperasi meskipun menggunakan alat tangkap terlarang seperti pukat harimau, yang telah dilarang oleh Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015.

Operasi kapal-kapal ini sering dikawal oleh oknum aparat yang diduga menerima “stabil” atau setoran rutin dari pemilik kapal, yang merupakan pejabat aktif maupun mantan pejabat daerah.

Selain itu, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kota Sibolga diduga membiarkan beroperasinya pukat trawl di perairan Sibolga dan Tapanuli Tengah. Bahkan, diduga memiliki kapal pukat trawl, yang jelas melanggar peraturan yang berlaku.

Seorang mantan anggota DPRD Sibolga mengungkapkan bahwa kapal-kapal ilegal membayar antara Rp2 juta hingga Rp35 juta per bulan kepada oknum aparat, dengan total mencapai sekitar Rp2 miliar per bulan. Praktik ini diduga membuat aparat tutup mata terhadap aktivitas illegal fishing.

Nelayan yang mencoba melaporkan atau memprotes aktivitas ini sering kali mendapat intimidasi dari oknum yang mengaku sebagai suruhan pengusaha kapal.

Temuan investigasi ini menunjukkan bahwa praktik penangkapan ikan ilegal di Sibolga dan Tapanuli Tengah bukan hanya masalah hukum, tetapi juga mencerminkan adanya dugaan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat dan aparat.

Diperlukan tindakan tegas dan kolaborasi semua pihak untuk memberantas praktik ini demi kelestarian sumber daya laut dan kesejahteraan nelayan tradisional.


**Investigasi Sinarpos.com


Eksplorasi konten lain dari SINARPOS.com

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.