
SINARPOS.com, Bungo – 16 Agustus 2025 👉🏻 Isu dugaan praktik setoran ilegal yang melibatkan oknum Aparat Penegak Hukum (APH) di Kabupaten Bungo, Jambi, tengah menjadi sorotan publik setelah viral di grup media sosial Info Bungo.
Informasi yang beredar menyebutkan adanya setoran dari sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD) kepada oknum APH tertentu, dengan nominal yang cukup besar, sehingga menimbulkan tanda tanya besar mengenai transparansi, integritas, serta dugaan pelanggaran hukum.
Dalam unggahan yang beredar, seorang narasumber menampilkan data lengkap terkait dugaan setoran tersebut, termasuk jumlah nominal dan daftar OPD yang disebut terlibat. Hal ini memicu komentar beragam dari masyarakat, aktivis, hingga tokoh kontrol sosial (pers).
Banyak yang mempertanyakan kebenaran informasi ini serta menuntut adanya klarifikasi resmi dari pihak berwenang.
“Jika benar adanya, maka tindakan tersebut jelas melanggar Undang-Undang Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Ini bentuk penyalahgunaan wewenang jabatan yang harus diproses secara hukum,” ungkap salah satu aktivis saat dimintai tanggapan.

Aspek Hukum Dugaan Pelanggaran UU Tipikor
Dalam UU Tipikor, terdapat beberapa pasal yang bisa dijadikan rujukan apabila dugaan praktik setoran ilegal ini benar terbukti, antara lain:
- Pasal 5 ayat (2) UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001
Menyebutkan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi keputusan atau tindakan yang berhubungan dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp250 juta. - Pasal 11 UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001
Menegaskan bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp250 juta. - Pasal 12 huruf e UU No. 20/2001
Mengatur bahwa pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau menyalahgunakan kewenangan, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara 4–20 tahun serta denda Rp200 juta – Rp1 miliar.
Dengan demikian, jika dugaan setoran ini terbukti, maka oknum APH dapat dijerat dengan tindak pidana korupsi berupa penerimaan gratifikasi atau penyalahgunaan wewenang.
Kontrol Sosial dan DPRD Diminta Turun Tangan
Perwakilan dari organisasi kontrol sosial Ratu Prabu 08 Kabupaten Bungo, L. Sihombing, menegaskan bahwa isu ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
Ia menyebut, jika dugaan tersebut terbukti benar, maka budaya korupsi di Bungo masih “lancar-lancar saja” dan mencoreng wajah penegakan hukum.
“APH yang diduga terlibat sebaiknya dievaluasi, bahkan kalau perlu dicopot dari jabatannya. Jangan sampai masyarakat kehilangan kepercayaan pada institusi penegak hukum,” tegas L. Sihombing dengan nada keras.
Berdasarkan rencana yang beredar, isu ini akan dibawa dan dibicarakan pada rapat di Gedung DPRD Bungo, Rimbo Tengah, Senin (18/8/2025). Hal ini dinilai penting agar DPRD dapat menjalankan fungsi pengawasan dan memastikan adanya kepastian hukum.
Ketua Gerakan Nasional Pencegahan Korupsi Republik Indonesia (GNPK RI) Provinsi Jambi, dr. Iskandar Budiman, juga memberikan tanggapan keras.
Ia menyatakan bahwa praktik setoran seperti yang diduga terjadi tidak bisa dibenarkan, apalagi jika melibatkan aparat penegak hukum.
“Ini jelas melanggar aturan hukum dan tidak boleh terjadi di Indonesia. APH seharusnya menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi, bukan malah terlibat di dalamnya,” pungkas Iskandar dengan nada kecewa.
Upaya Konfirmasi tidak Membuahkan Hasil

Tim Investigasi Media SINARPOS.com telah berupaya meminta konfirmasi dari pihak Kejaksaan Negeri Bungo, termasuk mengirimkan pesan singkat (SMS) kepada salah satu pejabat terkait (MNLG).
Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada jawaban maupun klarifikasi resmi. Upaya menghubungi Kepala Kejaksaan Negeri Bungo pun belum berhasil.
Sementara itu, anggota DPRD Bungo dari Komisi I, inisial “R”, serta Wakil Ketua DPRD, inisial “P”, yang turut dikonfirmasi, juga belum memberikan keterangan mengenai isu yang tengah menyudutkan oknum APH tersebut.
Seorang aktivis yang enggan menyebutkan identitasnya menilai, isu ini harus segera ditindaklanjuti. Jika tidak, menurutnya, masyarakat Bungo jangan berharap adanya perubahan atau kemajuan daerah.
“Kalau dugaan ini benar dan tidak ditindaklanjuti, maka hukum hanya sekadar formalitas. Itu artinya visi dan misi Bungo baru atau Bungo perubahan hanya akan menjadi slogan belaka,” ujarnya menutup pembicaraan.