
SINARPOS.com TEBO, JAMBI 👉🏻 Sengketa lahan kembali mencuat di Kabupaten Tebo. Empat bersaudara ahli waris tanah seluas 1.564 hektar di Desa Lubuk Madrasah, Kecamatan Tengah Ilir, resmi melaporkan Kepala Desa Lubuk Madrasah, Samsuri, beserta anaknya Julpan, ke Polres Tebo.
Laporan tersebut disampaikan langsung oleh Mukhtar dan Sri Wahyuni, mewakili keluarga, pada Rabu (3/9/2025).
Dalam laporan yang diterima dengan nomor STB/186/IX/2025/SPKT-Polres Tebo, pelapor menuding Kepala Desa Samsuri dan Julpan telah melakukan penjualan lahan yang bukan miliknya, melainkan tanah warisan turun-temurun dari nenek moyang mereka.
Bukti kepemilikan, kata keluarga, dapat dilacak hingga dokumen pembayaran pajak pada masa kolonial Belanda tahun 1920.
Kronologi Laporan

Mukhtar dan Sri Wahyuni datang ke Polres Tebo didampingi dua saksi warga Sungai Bengkal berinisial T dan SH. Keduanya menegaskan bahwa langkah hukum ini ditempuh sebagai bentuk kekecewaan terhadap Kepala Desa Lubuk Madrasah yang dinilai telah menyalahgunakan kewenangan.
“Ini tanah warisan tiga turunan. Dasar apa kepala desa menjual lahan yang bukan miliknya? Kami minta aparat kepolisian mengusut tuntas agar jelas duduk perkaranya,” tegas Mukhtar kepada wartawan.
Sebelum laporan resmi dibuat, pihak keluarga sempat mengutus Nando, Hombing, dan Aritonang untuk melakukan mediasi langsung dengan Samsuri dan Julpan. Namun, upaya mediasi gagal karena kedua terlapor disebut selalu menghindar dan tidak mau ditemui.
Ratusan warga Desa Lubuk Madrasah yang kini menempati lahan tersebut mengaku membelinya melalui mekanisme ganti rugi yang difasilitasi Kepala Desa.
Banyak di antara mereka berasal dari luar daerah, seperti Aceh, Medan, Bungo, bahkan Pulau Jawa. Warga mengaku tidak mengetahui bahwa tanah yang mereka tempati memiliki status warisan.
“Warga hanya tahu tanah dibeli sah lewat surat kepala desa. Soal sejarah tanah, kami tidak paham,” ujar salah seorang warga.
Dugaan Pelanggaran Undang-Undang

Berdasarkan laporan ahli waris, dugaan penyerobotan dan penjualan tanah warisan ini berpotensi melanggar sejumlah pasal dalam peraturan perundangan di Indonesia:
- UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA):
- Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 19 menegaskan setiap hak atas tanah harus didaftarkan dan memiliki bukti hukum yang sah. Penjualan tanah tanpa status hak yang jelas dapat dianggap tidak sah.
- Pasal 21 ayat (1) melarang pihak yang tidak berhak melakukan peralihan hak atas tanah.
- KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana):
- Pasal 385 KUHP: Barang siapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, menjual, menukar, atau menggadaikan hak atas tanah padahal diketahui bahwa tanah tersebut bukan miliknya atau masih dalam sengketa, dapat dipidana penjara paling lama 4 tahun.
- Pasal 378 KUHP: Mengatur tentang penipuan, dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 tahun, jika terbukti melakukan perbuatan menjual tanah dengan cara membohongi atau menyesatkan pihak lain.
- Pasal 372 KUHP: Mengatur tentang penggelapan, yakni menguasai barang (dalam hal ini tanah warisan) yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dengan ancaman pidana 4 tahun penjara.
- UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa:
- Pasal 26 ayat (4) huruf a dan d menyebutkan Kepala Desa wajib melaksanakan prinsip tata pemerintahan desa yang bersih, transparan, dan akuntabel.
- Pasal 29 ayat (1) menegaskan Kepala Desa dilarang menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan kewajiban.
- Jika terbukti, Kepala Desa dapat diberhentikan sesuai mekanisme hukum dan administratif.
Dengan dasar hukum ini, laporan yang disampaikan keluarga ahli waris memiliki landasan kuat untuk diproses oleh aparat kepolisian.

1) Delik Pidana yang Umum Dikenakan
A. “Menjual tanah milik orang lain” (Pasal 385 KUHP lama)
- Unsur pokok: dengan maksud menguntungkan diri sendiri/orang lain secara melawan hukum, menjual/menukar/menggadaikan/menyewakan hak atas tanah padahal pelaku tahu bukan pemilik atau tanah bersangkutan dengan orang lain/sengketa.
- Ancaman: penjara maksimal 4 tahun (KUHP yang berlaku sampai 31 Desember 2025). (KUHP baru berlaku 2026, namun perkara saat ini tetap memakai KUHP lama).
B. Pemalsuan & pemakaian surat palsu (Pasal 263 KUHP)
- Perbuatan: membuat surat palsu atau memalsukan surat, dan/atau memakai surat palsu seolah-olah asli yang dapat menimbulkan hak/kewajiban.
- Ancaman: penjara maksimal 6 tahun (dan denda kategori VI pada rezim KUHP baru 2026).
C. Memasukkan keterangan palsu ke dalam akta autentik (Pasal 266 KUHP)
- Perbuatan: menyuruh memasukkan keterangan palsu ke akta autentik (mis. AJB/akta tanah) yang dapat menimbulkan hak/ kewajiban.
- Ancaman: penjara maksimal 7 tahun (doktrin dan putusan sering juga merujuk kombinasi Pasal 264 untuk akta autentik dengan ancaman sampai 8 tahun).
D. Penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara/daerah (UU Tipikor, Pasal 3)
- Relevan bila tanah adalah aset desa atau ada penggunaan kewenangan jabatan yang menimbulkan kerugian keuangan desa/daerah/negara (mis. menjual tanah kas desa tanpa prosedur dan harga layak).
- Ancaman: penjara 1–20 tahun dan/atau denda Rp50.000.000–Rp1.000.000.000. (Pasal 2 juga dapat dipakai bila unsur kewenangan tidak dominan tetapi ada perbuatan memperkaya diri/ orang lain yang merugikan keuangan negara).
Catatan praktik: Dalam perkara penjualan tanah oleh non-pemilik, Pasal 385 KUHP hampir selalu jadi delik inti; 263/266 ditambahkan bila ada surat keterangan palsu, SKT, kwitansi, atau AJB yang dimanipulasi; Tipikor Pasal 3 diterapkan khusus jika menyangkut aset desa/keuangan desa atau abuse of power selaku pejabat.
2) Kekhususan Bila Pelaku adalah Kepala Desa
- Bukan PPAT: AJB (Akta Jual Beli) wajib dibuat oleh PPAT/PPAT Sementara (Camat). Kepala desa tidak berwenang membuat AJB; paling jauh menerbitkan surat keterangan riwayat tanah/pengetahuan desa. Akta peralihan hak tanpa PPAT adalah cacat serius dan menjadi pintu masuk delik pemalsuan/penipuan/385 KUHP.
- Aset Desa tidak boleh dijual sembarangan: Pengelolaan/ pemindahtanganan aset desa (mis. tanah kas desa) harus mengikuti UU Desa dan Permendagri 1/2016 (persetujuan BPD, Perdes, evaluasi Bupati/Wali Kota, dan mekanisme nilai wajar). Pelanggaran berpotensi Tipikor jika timbul kerugian keuangan desa.
3) Aturan Formil Peralihan Hak atas Tanah (untuk menguji keabsahan transaksi)
- Peralihan hak karena jual beli: harus dibuktikan AJB oleh PPAT, dilaporkan ke Kantor Pertanahan untuk pendaftaran (balik nama). Tanpa AJB PPAT dan pendaftaran, peralihan tidak sempurna secara administrasi pertanahan.
4) Sanksi & Denda — Ringkas
- Pasal 385 KUHP: penjara maks. 4 tahun. (Per 2025, KUHP lama masih berlaku; KUHP baru dengan variasi ancaman baru berlaku 2026).
- Pasal 263 KUHP: penjara maks. 6 tahun (pemalsuan/ menggunakan surat palsu).
- Pasal 266 KUHP: penjara maks. 7 tahun (keterangan palsu dalam akta autentik).
- UU Tipikor Pasal 3: penjara 1–20 tahun dan/atau denda Rp50 juta–Rp1 miliar (penyalahgunaan wewenang yang merugikan keuangan negara/daerah/desa).
5) Konsekuensi Perdata & Administratif
- Perdata (KUH Perdata): perjanjian jual beli oleh bukan pemilik melanggar syarat causa yang halal & kewenangan bertindak → dapat dimohonkan batal/ tidak sah; pembeli beriktikad baik dapat menuntut pengembalian uang/ganti rugi dari pelaku. (Dasar umum perikatan, 1320, 1457 KUHPer).
- Administratif/Etik Jabatan Kepala Desa: melanggar UU Desa/Permendagri 1/2016 → sanksi pembinaan, teguran/ pemberhentian sementara/ pemberhentian tetap oleh Bupati/Wali Kota sesuai pelanggaran. Jika menyangkut aset desa → paralel dengan proses Tipikor.
6) Pembuktian Praktis (apa yang biasanya dicari aparat/ hakim)
- Status kepemilikan sah korban (sertipikat/ girik/ SPPT + riwayat).
- Peran Kepala Desa: bukti menerima uang, menandatangani dokumen, memfasilitasi transaksi, atau menyatakan seolah-olah tanah milik pelaku/ desa.
- Dokumen cacat: SKT/Sporadik palsu, surat keterangan palsu, atau AJB bukan oleh PPAT. Ini menguatkan 263/266 KUHP.
- Kerugian keuangan desa bila tanah adalah aset desa (audit atau perhitungan kerugian).
7) Langkah Hukum yang Bisa Ditempuh Korban
- Laporan pidana ke Polres/ Polda: cantumkan Pasal 385, 263, 266 KUHP; lampirkan bukti kepemilikan & semua dokumen transaksi. Rujuk pula potensi Tipikor Pasal 3 bila aset desa/ wewenang jabatan dipakai.
- Gugatan perdata (PMH/ pembatalan perjanjian) di Pengadilan Negeri: minta pembatalan transaksi, pengosongan, ganti rugi.
- Upaya administrasi: lapor ke Inspektorat/ Bupati atas pelanggaran UU Desa/Permendagri 1/2016; minta sanksi jabatan.
- Pemblokiran/pencegahan di BPN bila ada proses balik nama atas bidang tersebut (dasar: PP 24/1997, mekanisme administrasi pertanahan).
Inti Kesimpulan
- Menjual tanah orang lain adalah delik Pasal 385 KUHP (maks. 4 tahun).
- Bila disertai surat/akta palsu → Pasal 263/266 KUHP (6–7 tahun, bahkan sampai 8 tahun dalam konteks akta autentik menurut doktrin/putusan).
- Jika pelaku Kepala Desa dan melibatkan aset desa/kerugian keuangan desa → bisa dijerat UU Tipikor Pasal 3 (1–20 tahun, denda sampai Rp1 miliar), terlepas dari sanksi administrasi jabatan.
- Secara formil, jual beli tanah harus lewat PPAT dan didaftarkan di BPN; tindakan Kepala Desa membuat/memanipulasi dokumen peralihan hak adalah tidak sah dan membuka pintu pidana & administrasi.

Merasa dirugikan, keluarga ahli waris meminta dukungan hukum kepada DPC Ratu Prabu 08, yang kemudian mendampingi Mukhtar dan Sri Wahyuni dalam proses pelaporan di Polres Tebo. Harapannya, laporan polisi ini tidak jalan di tempat dan bisa diproses sesuai hukum yang berlaku.
“Jangan sampai kasus ini tenggelam. Kami minta Polres Tebo segera memanggil Kepala Desa dan pihak pembeli, serta menegakkan hukum sesuai UU Pertanahan,” tambah Sri Wahyuni.
Media ini berulang kali mencoba meminta konfirmasi langsung kepada Samsuri maupun Julpan terkait tuduhan penyerobotan lahan.
Namun, hingga berita ini diturunkan, keduanya tidak memberikan keterangan dan selalu berhalangan ditemui.
Kasus ini kini menjadi sorotan publik Kabupaten Tebo, mengingat luas lahan yang disengketakan mencapai ribuan hektar serta melibatkan banyak pihak yang telah membeli tanah tersebut.
Aparat kepolisian diharapkan segera mengambil langkah tegas untuk memberikan kepastian hukum kepada para ahli waris maupun masyarakat desa.
➡️ **Laiden Sihombing