Krisis Kemanusiaan Memuncak di Gaza: Serangan Udara Israel Tewaskan Ratusan Warga Sipil
SINARPOS.com Gaza, Palestina 9 Juni 2025 || Situasi di Jalur Gaza kembali berada di ambang kehancuran total setelah serangan udara besar-besaran yang dilancarkan oleh militer Israel pada Senin dini hari waktu setempat. Gelombang serangan yang menyasar wilayah padat penduduk ini menyebabkan sedikitnya 230 orang tewas, dan lebih dari 480 lainnya mengalami luka-luka, termasuk perempuan dan anak-anak.
Serangan ini terutama menyasar wilayah Khan Younis dan Rafah, dua kota besar di selatan Gaza yang selama ini dikenal sebagai tempat perlindungan bagi para pengungsi internal.
Kawasan ini menampung ribuan keluarga yang telah kehilangan rumah sejak konflik sebelumnya. Kini, banyak dari mereka kembali menjadi korban dalam konflik yang tampaknya tak kunjung berhenti.
Kementerian Kesehatan Gaza menyampaikan bahwa rumah sakit-rumah sakit utama di wilayah tersebut, termasuk Rumah Sakit Al-Shifa, berada di ambang kolaps.
“Korban luka dan jenazah berdatangan tanpa henti, sementara pasokan medis sangat terbatas. Kami tidak bisa menyelamatkan semua orang,” ujar salah satu petugas medis dalam laporan langsung dari lapangan.

Pemerintah Israel mengklaim bahwa serangan ini merupakan tanggapan terhadap puluhan roket yang diluncurkan oleh kelompok Hamas ke wilayah selatan Israel, termasuk ke kota Ashkelon dan Be’er Sheva. Juru bicara militer Israel menyatakan bahwa sasaran mereka adalah “pusat komando teroris” dan “fasilitas militer” milik Hamas.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar korban justru berasal dari kalangan sipil. Banyak bangunan yang hancur adalah rumah penduduk, sekolah, serta fasilitas umum yang selama ini berfungsi sebagai tempat perlindungan.
Respons Kemanusiaan dan Internasional
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Palang Merah Internasional (ICRC) dengan tegas mengecam tindakan kekerasan yang terjadi. Keduanya menyerukan gencatan senjata segera dan pembukaan akses kemanusiaan tanpa hambatan ke wilayah Gaza.
Bantuan medis, makanan, dan air bersih sangat dibutuhkan, tetapi distribusinya terhambat oleh blokade yang masih diberlakukan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pun langsung mengadakan sidang darurat Dewan Keamanan untuk membahas meningkatnya eskalasi kekerasan dan krisis kemanusiaan yang memburuk.
Beberapa negara, termasuk Norwegia dan Turki, mendesak dikeluarkannya resolusi mengikat untuk menghentikan serangan terhadap warga sipil.
Sementara itu, gelombang protes besar-besaran terjadi di sejumlah negara Eropa dan Amerika Utara. Di London, puluhan ribu demonstran berkumpul di depan Downing Street, membawa spanduk bertuliskan “Stop Bombing Gaza” dan “Humanity First.” Protes serupa terjadi di Paris, Berlin, New York, hingga Jakarta.

Banyak aktivis hak asasi manusia menyatakan bahwa apa yang terjadi di Gaza bukan sekadar konflik militer, tetapi krisis kemanusiaan yang terus berulang akibat kegagalan komunitas internasional dalam memberikan perlindungan bagi warga sipil.
Ketegangan ini semakin memperkeruh dinamika geopolitik di kawasan Timur Tengah. Pengamat politik memperingatkan bahwa jika konflik ini tidak segera diredam, potensi pecahnya konflik regional semakin besar.
Milisi dari Lebanon selatan (Hizbullah) dilaporkan sudah mulai meningkatkan aktivitas militernya, sementara Iran terus menyuarakan kecaman terhadap Israel.
Pemerintah Mesir dan Qatar tengah melakukan mediasi darurat untuk menengahi konflik dan mencari jalan keluar diplomatik. Namun, sejauh ini belum ada tanda-tanda konkret menuju gencatan senjata.
Peristiwa pada 9 Juni 2025 ini menjadi salah satu episode paling berdarah dalam sejarah konflik modern antara Israel dan Palestina. Dengan ratusan korban jiwa dan penderitaan warga sipil yang tak terperi, dunia kini kembali dihadapkan pada ujian moral dan kemanusiaan.
Apakah diplomasi mampu menghentikan lingkaran kekerasan ini, atau kita akan menyaksikan tragedi yang lebih besar di hari-hari mendatang?
Eksplorasi konten lain dari SINARPOS.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.