
Sampah organik merupakan salah satu jenis limbah yang paling banyak dihasilkan dari aktivitas manusia, baik dari rumah tangga, pasar tradisional, maupun lembaga seperti sekolah, rumah sakit, hingga lembaga pemasyarakatan. Jenis sampah ini, mencakup sisa makanan, dedaunan, dan bahan organik lainnya dimana menyumbang sekitar 60–70% dari total timbunan sampah di Indonesia.
Meski tergolong mudah terurai, sampah organik yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan berbagai masalah, seperti bau tidak sedap, pencemaran lingkungan, hingga peningkatan emisi gas rumah kaca akibat pembusukan yang menghasilkan gas metana yang berbahaya untuk kesehatan.
Di sisi lain, sampah organik sebenarnya memiliki potensi besar yang dapat dimanfaatkan menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat, seperti pupuk kompos, pakan hewan, atau bahkan sumber energi alternatif. Pengelolaan sampah yang benar memberikan dampak yang besar seperti mencegah masalah terhadap kesehatan serta mendukung program inisiatif hijau.
Lapas Kelas IIA Purwokerto merupakan lapas dengan isi penghuni mencapai lebih dari 500 warga binaan hal ini berdampak banyaknya aktivitas sampah baik dari warga binaan itu sendiri ataupun dari dapur Lembaga Pemasyarakatan IIA Purwokerto, dengan tingginya aktivitas tersebut setiap harinya dapat menghasilkan volume sampah organik yang sangat signifikan, bahkan mencapai 70-150 kg sampah organik per harinya. Untuk meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan sampah khususnya sampah organik, Lapas Kelas IIA Purwokerto berkomitmen menerapkan sistem pengelolaan sampah organik secara efektif.
Pengelolaan sampah organik dilakukan dengan pemanfaatan makhluk hidup atau sering dikenal dengan maggot/larva sehingga sampah organik dapar terurai dengan maksimal. Pengelolaan sampah organik ini juga bertujuan untuk pembinaan kemandirian bagi warga binaan. Program ini diharapkan juga dapat meningkatkan kesadaran lingkungan di kalangan warga binaan dan petugas lapas. Dengan mengolah limbah organik secara berkelanjutan, lapas dapat membantu mengurangi beban tempat pembuangan akhir (TPA) di wilayah Purwokerto.
Lapas kelas IIA Purwokerto menerapkan manajemen pengelolaan limbah organik berbasis budidaya maggot sebagai bagian dari program pembinaan warga binaannya. Langkah ini merupakan inovasi strategis untuk menjawab tantangan masalah lingkungan khususnya sampah organik.
Adapun tahapan pertama dalam pengelolaan limbah organik adalah pengumpulan dan pemilahan., limbah dikumpulkan dari sumbernya seperti dapur, kantin, atau area konsumsi. Pengumpulan limbah organik seperti sisa kulit buah, sayuran busuk dikumpulkan terpisah dari sampah anorganik dan ditempatkan disuatu wadah khusus, pemilahan limbah organik dipilah untuk memastikan tidak ada kontaminasi dari bahan berbahaya atau anorganik, seperti plastik, logam, atau sisa bahan kimia kontaminasi ini dapat menghambat perkembangan maggot dan mengurangi efisiensi penguraian limbah organik.
Tahapan kedua menyiapkan media yang sesuai untuk pertumbuhan maggot adapun prosesnya mulai dari limbah organik dicacah atau dihancurkan menjadi potongan kecil untuk mempercepat proses penguraian, limbah yang sudah dicacah dicampur dengan bahan tambahan seperti sekam padi, dedak, atau serbuk kayu campuran ini menciptakan lingkungan yang stabil bagi larva maggot untuk tumbuh, terakir media dibiarkan selama 1–2 hari agar proses fermentasi awal terjadi, menghasilkan suhu dan kelembapan yang ideal untuk maggot
Tahapan ketiga yaitu pengelolaan budidaya maggot yang dimana proses ini merupakan proses dari peyediaan lalat BSF yang dibiarkan bertelur pada area khusus kemudian telur dipindahkan ke media budidaya kemudian perkembangan larva setelah menetas larva maggot mulai memakan media yang mengandung limbah organik dalam waktu 7–10 hari, larva dapat mengurai hingga 80–90% limbah organik, proses pemeliharaan: Selama masa pertumbuhan, media harus dicek secara berkala untuk memastikan suhu, kelembapan, dan jumlah makanan tetap optimal.
Tahapan ke empat, setelah ukuran maggot sudah ideal maka proses panen dilakukan dengan cara larva dipisahkan dari media menggunakan saringan atau alat pemisah sederhana agar dapat dimanfaatkan untuk pakan ternak dan pakan alternatif seperti pelet sedangkan untuk media yang telah diurai oleh maggot dapat dijadikan pupuk organik untuk tanaman.
Secara keseluruhan, penerapan budidaya maggot untuk pengolahan sampah organik dapat memberikan manfaat bagi organisasi dan pengelolaan limbah.
Pengelolaan Limbah Organik Melalui Budidaya Maggot di Lapas IIA Purwokerto membawa berbagai manfaat, diantaranya :
A. Pengurangan Volume Limbah: Dengan kemampuan maggot mengurai limbah secara efisien, jumlah sampah organik yang dibuang ke TPA berkurang drastis.
B. Nilai Ekonomi: Maggot memiliki kandungan protein tinggi yang sangat diminati sebagai pakan alternatif, sehingga menghasilkan pendapatan tambahan.
C. Keberlanjutan Lingkungan: Limbah diolah menjadi sumber daya yang dapat digunakan kembali, mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
D. Keterampilan Warga Binaan: Program ini memberikan pelatihan praktis kepada narapidana, membantu mereka mempersiapkan diri untuk kehidupan pasca-penahanan.
Faktor kunci keberhasilan manajemen pengelolaan limbah dengan maggot adalah konsistensi pemilahan yang baik menentukan kualitas hasil budidaya, ketersediaan limbah organik yang stabil sangat penting untuk menjaga siklus budidaya, pelatihan kepada petugas lapas, warga binaan dan memastikan proses berjalan dengan efisien dan berkelanjutan, dengan penerapan tahapan ini, budidaya maggot dapat menjadi solusi holistik untuk mengelola limbah organik secara berkelanjutan, menghasilkan produk bernilai ekonomi, sekaligus mendukung lingkungan yang lebih bersih dan sehat.
Dengan demikian, penerapan budidaya maggot dalam pengelolaan limbah organik tidak hanya berperan dalam mengurai limbah organik yang ada tetapi juga memberikan ketrampilan bagi warga binaan agar lebih siap ketika kembali bermasyarakat.
Penulis : Ervan Miftahul Alim Mahasiswa Magister Manajemen Universitas Jenderal Soedirman