
Pesisir Selatan, Sinarpos.com — Seorang oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) diduga menyalahgunakan mobil dinas milik Kepala Badan Pengelolaan Keuangan, Pendapatan, dan Aset Daerah (BPKPAD) Kabupaten Pesisir Selatan (Pessel), Sumatera Barat (Sumbar), hingga menyebabkan kecelakaan maut yang menewaskan dua warga sipil.
Peristiwa tragis ini terjadi pada Januari 2025 di luar jam kerja dan bukan dalam rangkaian tugas kedinasan. Mobil dinas tersebut diketahui digunakan untuk keperluan pribadi oleh Suhandri, yang saat itu belum menjabat sebagai Kepala BPKPAD Pessel secara resmi.
Seperti diketahui Suhandri merupakan ASN asal Kota Pekanbaru. Ia baru dilantik sebagai Kepala BPKPAD Pessel pada Jumat, 25 Juli 2025, beberapa bulan setelah kecelakaan tersebut terjadi.
Menurut informasi yang dihimpun, kendaraan dinas yang digunakan Suhandri bukanlah kendaraan yang sah diperuntukkan baginya saat kejadian. Hal ini menimbulkan dugaan kuat adanya penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan aset negara.
Mobil dinas yang seharusnya digunakan untuk operasional instansi pemerintah diketahui dipakai untuk kepentingan pribadi. Saat kecelakaan berlangsung, Suhandri disebut tengah melakukan perjalanan non-dinas bersama keluarganya.

Mobil Dinas BPPKAD Pessel yang Terlibat Kecelakaan Maut
Insiden ini sontak memicu reaksi keras dari masyarakat dan sejumlah organisasi sosial. Salah satunya adalah LSM Markas Cabang Forum Bersama Laskar Merah Putih Pessel yang mendesak aparat penegak hukum untuk segera mengambil tindakan tegas terhadap pelaku.
Ketua LSM Markas Cabang Forum Bersama Laskar Merah Putih Pessel , Sidi A.G Tanjung, menilai kejadian tersebut merupakan bentuk nyata dari penyalahgunaan fasilitas negara oleh ASN. Ia menyebut bahwa tindakan Suhandri tak hanya melanggar kedisiplinan, tetapi sudah masuk dalam kategori tindak pidana korupsi.
“Ini bukan delik aduan lagi. Ini sudah terang-benderang dan murni korupsi. ASN memakai aset negara untuk kepentingan pribadi hingga menyebabkan orang meninggal dunia. Itu jelas pelanggaran hukum,” tegas Sidi saat diwawancarai pada Senin (15/9/2025).
Sidi juga menegaskan bahwa penggunaan mobil dinas tanpa izin resmi bisa dijerat dengan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi karena telah merugikan keuangan negara. Selain itu, pelaku juga berpotensi dikenakan Pasal 359 KUHP tentang kelalaian yang menyebabkan kematian.
Pakar hukum dan tokoh masyarakat, Dr. Rudi Chandra, turut menyoroti kasus tersebut. Menurutnya, unsur pidana dalam peristiwa ini sudah terpenuhi dan penyelidikan harus dilakukan meskipun belum ada laporan resmi dari pihak keluarga korban.
“Mobil itu adalah aset negara yang dibeli dari pajak rakyat. Jika sudah jadi barang rongsokan akibat penggunaan di luar tugas, itu sangat memprihatinkan. APH harus segera proses hukum terhadap Suhandri,” ujar Rudi.
Ia juga menyebut kondisi mobil dinas yang rusak parah dan kini berada di sebuah bengkel di Kota Padang sebagai bukti kuat penyalahgunaan aset negara. Menurutnya, kerusakan kendaraan merupakan salah satu indikasi tanggung jawab hukum yang tidak bisa dihindari.
Sementara itu, Suhandri saat dikonfirmasi di ruang kerjanya di Painan pada Senin (15/9/2025) menyatakan siap bertanggung jawab atas kerusakan mobil dinas tersebut. Ia mengaku telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Wilayah Sumbar dan bersedia mengganti kerugian negara.
“Saya belum ada uang, tapi saya berusaha untuk memperbaikinya. Tidak ada orang menginginkan musibah. Di dalam mobil itu juga ada keluarga saya. Saya sudah diperiksa BPK dan siap bertanggung jawab. Nanti tergantung bagaimana baiknya, atau mobil itu saya beli saja,” ungkap Suhandri.
Ditilik dari Sisi Hukum Pidana
Namun demikian, menurut kajian hukum, tanggung jawab perdata seperti mengganti kerugian negara tidak serta-merta menggugurkan tanggung jawab pidana. Proses hukum tetap wajib dijalankan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Merujuk pada Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 230 UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan korban jiwa wajib ditindaklanjuti aparat hukum meskipun telah ada perdamaian antara pelaku dan keluarga korban.
Selain itu, Pasal 310 ayat (4) UU LLAJ menyebutkan bahwa pengemudi yang menyebabkan kecelakaan hingga menewaskan orang lain dapat dipidana penjara hingga enam tahun dan/atau denda maksimal Rp12 juta. Hal ini semakin memperkuat tuntutan agar proses hukum tetap berjalan.
Pihak LSM dan masyarakat berharap agar kasus ini tidak berhenti begitu saja, Mereka meminta aparat penegak hukum segera melakukan penyelidikan menyeluruh, mengingat sudah ada nyawa yang melayang akibat kelalaian yang diduga dilakukan seorang pejabat negara. (Don)