Kecam Tindakan Brutal Aparat, LBH Medan Desak Polda Sumut Bebaskan 39 Massa Aksi

Sinarpos.com

Medan – Aksi massa di depan Gedung DPRD Sumatera Utara, Selasa siang (26/8/2025) berakhir ricuh setelah aparat kepolisian dan Brimob menembakkan water cannon, gas air mata, serta melakukan tindakan represif untuk membubarkan demonstran.

Aksi yang dimulai sejak pukul 13.30 WIB itu awalnya berlangsung damai dengan agenda menyampaikan aspirasi sekaligus mendesak agar perwakilan rakyat hadir menerima massa. Namun hingga aksi berakhir, tidak satupun pimpinan atau anggota DPRD Sumut menemui pengunjuk rasa, sehingga tuntutan yang dibawa massa tidak tersampaikan secara langsung. Dalam aksinya, massa membawa 12 tuntutan pokok, di antaranya: penghapusan tunjangan mewah DPR, penyesuaian gaji DPR agar proporsional dengan UMK/UMP, pengesahan RUU Perampasan Aset dan RUU Anti-Korupsi, transparansi hasil audit BPK dan KPK, pengalihan anggaran DPR ke program pro-rakyat, revolusi partai politik, pengawalan RKUHAP, pengesahan RUU Masyarakat Adat, pembatalan UU TNI, penolakan RUU Polri, pengusutan kasus korupsi di Sumut, serta evaluasi terhadap kepemimpinan Gubernur Sumut.

Aksi ratusan massa yang terdiri dari mahasiswa, masyarakat, dan pelajar awalnya berlangsung damai meskipun dikepung oleh ratusan aparat kepolisian dan Brimob. Namun, situasi berubah tegang ketika aparat mulai melakukan tindakan pengamanan yang represif.

Ketegangan semakin memuncak karena tidak adanya atensi dari Ketua DPRD Sumut, Erni Ariyanti Sitorus, maupun anggota dewan lainnya. Pada pukul 15.45 WIB, kemarahan massa akhirnya memuncak dan berujung pada perobohan pagar gedung DPRD Sumut.

Massa dipaksa mundur dan meninggalkan kawasan gedung DPRD setelah aparat kepolisian terus menekan tanpa memberi ruang kompromi.

Negosiasi sempat dilakukan dengan harapan massa dapat bertemu para wakil rakyat untuk menyampaikan tuntutannya, namun aparat tidak memberikan jalan tengah sehingga situasi berujung pada penyemprotan air menggunakan water cannon.

Di tengah ketegangan, terjadi pelemparan botol air minum, batu, dan ranting kayu oleh oknum tidak dikenal yang berada di antara massa. Diketahui, sejumlah oknum menutupi wajahnya dan melakukan provokasi dengan melempari aparat, sehingga memicu kericuhan dan menyebabkan massa aksi terpecah.

Menjelang pukul 18.00 WIB, ketegangan semakin memuncak. Aparat kepolisian bersama Brimob kembali menembakkan water cannon disertai gas air mata untuk membubarkan demonstran.

Dalam aksi pembubaran tersebut, aparat melakukan penangkapan terhadap peserta aksi disertai tindakan penyiksaaan dengan cara melakukan penganiayaan dan bahkan diduga melakukan penginjakan wajah masa aksi secara brutal dan tidak manusiawi.

Diketahui hingga kini tercatat 39 orang massa aksi yang ditangkap secara sewenang-wenang belum juga dibebaskan Polda Sumut.

Menyikapi tindakan Kepolisian Daerah Sumatera Utara yang melakukan dugaan penyiksaan atau penganiayaan terhadap massa aksi, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan secara tegas dan keras mengecam tindakan brutalitas Polda Sumut dan meminta Polda untuk segara membebaskan massa aksi yang ditangkap tanpa syarat.

LBH Medan menilai tindakan penyiksaan dengan cara pemukulan dan bahkan melakukan penginjakan wajah massa aksi adalah perbuatan yang brutal dan tidak manusiawi.

Perlu diketahui bahwa menyampaikan pendapat dimuka umum melalui berdemonstari adalah hak setiap warga negara yang dijamin sepenuhnya oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3).

Tidak hanya itu hak tersebut, secara tegas juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang HAM, DUHAM dan ICCPR.

Dasar hukum tersebut menegaskan setiap warga negara, baik mahasiswa, pelajar, maupun kelompok masyarakat lainnya, memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat di ruang publik melalui unjuk rasa atau demonstrasi.

Secara hukum LBH Medan menilai, tindakan brutal aparat Polda Sumut telah mencederai prinsip demokrasi dan melanggar Hak Asasi Manusia, serta bertentangan dengan kewajiban institusional Polri sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang tugas utama untuk memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Dengan demikian, pola penanganan yang brutal justru menunjukkan pengingkaran terhadap mandat undang-undang sekaligus melemahkan kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian.

Tidak hanya melakukan dugaan penyiksaan, Polda Sumut juga melakukan penghalang-halangan pendampingan terhdap massa aksi yang ditangkap secara sewenang-wenang.

Pasca terjadinya ricuh Polda Sumut diduga menangkap lebih kurang 39 orang massa aksi dan dibawa ke Polda Sumut tepatnya Direktorat Kriminal Umum.

Mengetahui hal tersebut LBH Medan bersama Kontras dan Keluarga Massa Aksi berupaya melakukan pendampingan sebagaimana amanat KUHAP.

Namun parahnya pihak Polda Sumut menghalang-halangi hak penasehat hukum dengan berdalih melakukan pendataan. Tidak ujuk-ujuk menerima pernyataan Polda Sumut, LBH Medan dan Kontras Sumut terus menyampaikan argumentasi hukumnya untuk dapat diberikan akses pendamping.

Akan tetapi upaya tersebut tidak dihiraukan Polda. Oleh karena itu dapat disimpulkan jika adanya abuse of power yang dilakukan Polda Sumut dalam proses pemerikasaan para massa aksi dan bertentangan dengan KUHAP.

Bahkan secara hukum penanganan massa aksi yang dilakuan kepolisian diduga telah melanggar Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2012 tentang tata cara penyelenggaraan pelayanan, pengamanan, dan penanganan perkara penyampaian pendapat di muka umum.

Dimana secara jelas terjadinya penyiksaan dan tindakan brutal terhadap massa aksi. Serta pengamanan juga dilakukan dengan menggunakan senjata laras panjang yang seyoginya tidak dibenarkan secara hukum. Selain itu, LBH Medan menyayangkan ketidakhadiran Ketua DPRD Sumatera Utara beserta anggota dewan lainnya pada saat berlangsungnya demonstrasi, yang kemudian berujung pada tindakan pembubaran dengan kekerasan oleh aparat Kepolisian dan Brimob.

Menurut LBH Medan, absennya DPRD dalam momentum krusial tersebut tidak hanya mencerminkan sikap abai terhadap fungsi representasi rakyat, tetapi juga menunjukkan pelemahan peran legislatif dalam menjalankan tanggung jawab konstitusionalnya.

Secara normatif, DPRD sebagai lembaga legislatif daerah memiliki kewajiban untuk menyerap, menghimpun, menampung, serta menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat. Kewajiban ini tidak sekadar bersifat administratif, melainkan merupakan amanat hukum yang melekat pada fungsi DPRD.

(ard)

  • BERITA TERKAIT

    BERITA KHUSUS (VIDEO STREAMING)

    GIIAS 2025

    Belasan Media Nasional Kawal Kasus Kematian Imam Komaini Sidik: Dugaan Pembunuhan Terencana, Hanya Satu Tersangka Ditahan?

    Belasan Media Nasional Kawal Kasus Kematian Imam Komaini Sidik: Dugaan Pembunuhan Terencana, Hanya Satu Tersangka Ditahan?

    Keluarga Korban Pembunuhan Imam Komaini Sidik Desak Pengungkapan Komplotan Pelaku: “Kami Percaya Ini Bukan Ulah Satu Orang”

    Keluarga Korban Pembunuhan Imam Komaini Sidik Desak Pengungkapan Komplotan Pelaku: “Kami Percaya Ini Bukan Ulah Satu Orang”

    Kantor Penasehat Hukum Hendri C Saragi, SH Desak Otopsi Jenazah Imam Komaini Sidik Oleh Tim Medis TNI: Mengungkap Tabir Kematian yang Penuh Tanda Tanya

    Kantor Penasehat Hukum Hendri C Saragi, SH Desak Otopsi Jenazah Imam Komaini Sidik Oleh Tim Medis TNI: Mengungkap Tabir Kematian yang Penuh Tanda Tanya

    Tragedi Pembunuhan Menyimpan Tanda Tanya, Ada Apa di Balik Peritiwa ini ?

    Tragedi Pembunuhan Menyimpan Tanda Tanya, Ada Apa di Balik Peritiwa ini ?

    Jalan Rusak di Daerah Pesantren Kelapa Sawit: Suara Warga yang Tak Kunjung Didengar

    Jalan Rusak di Daerah Pesantren Kelapa Sawit: Suara Warga yang Tak Kunjung Didengar