Diduga Tak Beri Hak Karyawan, PT CSH Bungkam Soal PHK Pemanen Sawit yang Alami Kebutaan Permanen

SINARPOS.comBungo, Selasa 11 November 2025 👉 Dugaan pelanggaran serius terhadap hak-hak ketenagakerjaan mencuat di tubuh perusahaan perkebunan kelapa sawit PT CSH. Seorang pekerja pemanen sawit, Suprayitno (52), yang telah mengabdi selama 13 tahun, diberhentikan setelah mengalami kecelakaan kerja hingga buta permanen seumur hidup, namun disebut tidak menerima pesangon dan jaminan kompensasi yang layak.

Suprayitno terpaksa berhenti bekerja setelah mengalami cedera berat hingga mengalami kebutaan permanen.

Ironisnya, perwakilan perusahaan Supenno, terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) seorang karyawan bernama Suprayitno (52), pemanen sawit yang telah mengabdi selama 13 tahun, Memilih bungkam ketika dimintai penjelasan resmi usai pertemuan tertutup dengan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Bungo.

“Silakan tanya orang Nakertrans, supaya satu kata,” ucapnya singkat ketika ditemui di area garasi kantor Nakertrans Bungo, tanpa memberikan klarifikasi lanjutan.

Salah seorang petinggi perusahaan, Supenno, ditemui di Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertrans) Kabupaten Bungo, enggan memberikan komentar terkait proses penyelesaian hak-hak korban.

Pertemuan Tertutup, Media tak Diijinkan Meliput

Sementara itu, pertemuan perusahaan dengan pejabat Nakertrans berlangsung tertutup dan tak dapat diliput media, menimbulkan tanda tanya besar terkait transparansi proses mediasi—terutama menyangkut hak-hak normatif korban yang diduga tidak dipenuhi.

Sumber internal dan beberapa mantan karyawan yang dihimpun media SINARPOS.com menyebut, PT CSH bukan pertama kali terlibat persoalan ketenagakerjaan.

“CSH itu seakan kebal hukum… masalah seperti ini sudah sering terjadi,” ujar salah satu mantan karyawan yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Ia menambahkan, perusahaan kerap berdalih efisiensi untuk memperbesar keuntungan, namun mengabaikan hak pekerja.

“Keuntungan sebesar mungkin, biaya sekecil-kecilnya. Alat keselamatan kerja dulu bahkan tidak pernah diberikan,”
tuturnya.

Menurut kesaksian, kelengkapan alat keselamatan baru disediakan setelah kecelakaan yang menimpa Suprayitno—kondisi yang menguatkan dugaan kelalaian manajemen terhadap K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja).

Kasus serupa sebelumnya pernah terjadi dan penyelesaian perusahaan dinilai kerap bertele-tele serta cenderung mengabaikan aturan. Mereka menuding ada pihak tertentu di dalam manajemen yang lebih mengejar keuntungan dengan menekan biaya, termasuk pengabaian terhadap hak pekerja.

Kuasa Hukum Soroti Pelanggaran: Perlu Dibawa ke DPRD

Kuasa hukum korban, Sinartoba Lubis, SH, menilai tindakan perusahaan berpotensi melanggar Undang-Undang Ketenagakerjaan dan peraturan terkait keselamatan kerja.

“Ini bukan sekadar kasus PHK. Ada dugaan kelalaian yang menyebabkan pekerja mengalami cacat permanen. Hak-hak Suprayitno wajib dipenuhi, termasuk kompensasi yang adil,”
tegasnya.

Ia menilai persoalan ini harus diangkat ke DPRD Bungo untuk memastikan adanya pengawasan dan solusi yang berpihak pada korban. Perlu adanya keterlibatan DPRD Bungo untuk mendorong penyelesaian yang adil bagi korban.

“Masalah ini harus ditindaklanjuti agar hak-hak korban dipenuhi sesuai ketentuan undang-undang,” ujarnya.

Nakertrans: Jika Tak Ada Titik Temu, Tak Bisa Bertindak Lebih Jauh, Lanjut ke PHI

Kepala Dinas Nakertrans Bungo, Zamroni, S.Ag, mengakui pihaknya tidak memiliki kewenangan lebih jauh jika kedua belah pihak tak mencapai kesepakatan.

“Jika korban dan perusahaan tidak bisa diarah atau menerima anjuran, maka proses ini akan kami serahkan ke PHI, yang mempunyai kewenangan memberikan sanksi” ujarnya pada 10 November 2025.

Ia menegaskan bahwa hanya Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) yang berwenang menjatuhkan sanksi bila ditemukan pelanggaran.

JERAT HUKUM BERAT MENANTI: REKAM JEJAK KASUS DIDUGA BERULANG

Minimnya transparansi pertemuan CSH–Nakertrans, sikap bungkam perusahaan, serta dugaan tidak dipenuhinya hak korban, semakin menguatkan keperluan publik atas investigasi lebih dalam—terutama menyangkut kelalaian yang menyebabkan kebutaan permanen.

Investigasi awal media menemukan sejumlah kesaksian bahwa persoalan hak pekerja bukan hal baru di CSH.
Beberapa mantan pekerja mengaku pernah mengalami keterlambatan pembayaran hak atau proses PHK yang berbelit-belit.

“Sudah lama perusahaan ini bermasalah. Selalu cari alasan,”
ujar seorang mantan pekerja lain.

Kesaksian ini kian memperkuat dugaan bahwa persoalan perlindungan pekerja dan penerapan keselamatan kerja di PT CSH cukup lemah.

Dari sisi hukum, perusahaan dapat terancam pasal terkait: ✅ UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
✅ UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
✅ UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja

Potensi tuntutan mencakup:

Hak pesangon
Kompensasi kecelakaan kerja
Sanksi administratif
Gugatan perdata
Potensi pidana bila terbukti kelalaian menyebabkan kecacatan

✅ DASAR HUKUM YANG DAPAT MENJERAT PERUSAHAAN

✅ 1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (sebagaimana diubah dalam UU Cipta Kerja)

🔹 Pelanggaran terkait PHK & Hak Normatif

Pasal 151–155
PHK hanya diperbolehkan setelah melalui prosedur dan penetapan lembaga penyelesaian perselisihan. Jika PHK dilakukan sepihak → tidak sah.

Pasal 156 Bila PHK terjadi → pekerja berhak atas:

Uang pesangon
Uang penghargaan masa kerja
Uang penggantian hak

13 tahun masa kerja → pekerja berhak nilai pesangon cukup besar.

Potensi sanksi:
Kewajiban membayar semua komponen pesangon + denda (bila menolak/belum membayar).

✅ 2. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja + PP 35/2021

Aturan teknis terkait:

PHK
Penghitungan pesangon
Penyelesaian perselisihan kerja
Pelaksanaan PHK yang tidak melalui mekanisme/anjuran Naker → dapat diperkarakan di PHI (Pengadilan Hubungan Industrial).

✅ 3. UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (K3)

Jika Suprayitno mengalami kecelakaan kerja hingga buta permanen, maka ada indikasi: ✅ kelalaian perusahaan
✅ tidak menyediakan alat pelindung diri (APD)
—> ini merupakan pelanggaran serius K3.

Ancaman pidana Pasal 15 & Pasal 19
Pelanggaran K3 yang mengakibatkan kecelakaan dapat dikenakan sanksi:

Pidana kurungan
Denda

✅ 4. UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS Ketenagakerjaan

Penyelenggara wajib mendaftarkan pekerja pada BPJS Ketenagakerjaan.

Jika pekerja:

Tidak didaftarkan
Tidak menerima manfaat JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja)

→ perusahaan dapat dikenakan:

Sanksi administratif
Gugatan perdata

Korban kecelakaan kerja berhak atas: ✅ Perawatan medis hingga sembuh
✅ Santunan kecacatan
✅ Rehabilitasi
✅ Penggantian upah / santunan

Bila korban buta → masuk kategori cacat total tetap → santunan tinggi wajib dibayar.

✅ 5. KUHP (Pidana Umum)

Jika terbukti terdapat:

Kelalaian serius
Tidak memenuhi standar keselamatan

→ dapat digunakan Pasal 359 KUHP

Barang siapa karena kesalahannya menyebabkan orang lain luka berat → dipidana.

Kebutaan permanen = luka berat → bisa dipidana.

✅ ANALISIS POTENSI JERATAN

Aspek Potensi Pelanggaran Konsekuensi
Keselamatan Kerja Tidak sediakan APD, lalai K3 → korban cacat Pidana + kompensasi
PHK PHK sepihak PHI dapat batalkan PHK, wajib bayar pesangon
Hak Pekerja Tidak bayar pesangon Sanksi/putusan PHI
BPJS Tidak diberi perlindungan Sanksi administrasi
Transparansi Menutup informasi mediasi Indikasi pelanggaran prosedur
Kelalaian Menyebabkan cacat permanen Jerat pidana Pasal 359

✅ HAK KORBAN (wajib dipenuhi)

  1. Pesangon + penghargaan masa kerja
  2. Santunan cacat (BPJS)
  3. Penggantian penghasilan
  4. Rehabilitasi
  5. Kompensasi tambahan bila kelalaian terbukti

✅ PIHAK YANG DAPAT DIMINTAI PERTANGGUNGJAWABAN

Pihak Tanggung Jawab

PT CSH Kewajiban hukum & administratif
Direksi/Manajemen Pertanggungjawaban pidana (jika lalai)
Pengawas K3 Potensi tanggung jawab etik
Naker Dorong mediasi dan PHI

✅ LANGKAH HUKUM YANG DAPAT DITEMPUH KORBAN

  1. Mediasi di Naker (sudah dilakukan)
  2. Gugatan ke PHI → putusan pesangon/kompensasi
  3. Laporan pidana jika ada kelalaian berat
  4. Tuntutan BPJS Ketenagakerjaan
  5. Advokasi DPRD & publik

✅ KESIMPULAN HUKUM

Berdasarkan dugaan:

Tidak diberi APD

Kecelakaan kerja → cacat permanen

Tidak diberi pesangon

PHK sepihak
→ maka PT CSH berpotensi dijerat ketiga rezim hukum sekaligus: ✅ Administratif ✅ Perdata ✅ Pidana

Ini memperkuat urgensi kasus untuk dibawa ke PHI dan jalur pidana.

Kasus ini akan berlanjut ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) jika tidak ada kesepakatan dalam mediasi.

Masyarakat menanti jawaban:
Apakah hak korban akan dipenuhi, atau kembali menjadi catatan kelam dalam perlindungan tenaga kerja di sektor perkebunan?


➡️ **Reporter: Laiden Sihombing

**Editor : Redaksi SINARPOS.com

  • BERITA TERKAIT

    BERITA KHUSUS (VIDEO STREAMING)

    Kasus Penyerobotan Lahan 1.564 Hektare Mukhtar & Srimahyuni: Ratu Prabu 08 Surati Polres dan Kuasa Hukum Desak Polres Bertindak Tegas

    Kasus Penyerobotan Lahan 1.564 Hektare Mukhtar & Srimahyuni: Ratu Prabu 08 Surati Polres dan Kuasa Hukum Desak Polres Bertindak Tegas

    Exhumasi Imam Komaini Sidik: Bongkar Tabir Kebohongan Kasus Pembunuhan di Rimbo Bujang

    Exhumasi Imam Komaini Sidik: Bongkar Tabir Kebohongan Kasus Pembunuhan di Rimbo Bujang

    GIIAS 2025

    Belasan Media Nasional Kawal Kasus Kematian Imam Komaini Sidik: Dugaan Pembunuhan Terencana, Hanya Satu Tersangka Ditahan?

    Belasan Media Nasional Kawal Kasus Kematian Imam Komaini Sidik: Dugaan Pembunuhan Terencana, Hanya Satu Tersangka Ditahan?

    Keluarga Korban Pembunuhan Imam Komaini Sidik Desak Pengungkapan Komplotan Pelaku: “Kami Percaya Ini Bukan Ulah Satu Orang”

    Keluarga Korban Pembunuhan Imam Komaini Sidik Desak Pengungkapan Komplotan Pelaku: “Kami Percaya Ini Bukan Ulah Satu Orang”

    Kantor Penasehat Hukum Hendri C Saragi, SH Desak Otopsi Jenazah Imam Komaini Sidik Oleh Tim Medis TNI: Mengungkap Tabir Kematian yang Penuh Tanda Tanya

    Kantor Penasehat Hukum Hendri C Saragi, SH Desak Otopsi Jenazah Imam Komaini Sidik Oleh Tim Medis TNI: Mengungkap Tabir Kematian yang Penuh Tanda Tanya
    error: Maaf.. Berita ini diprotek