
Rika Siti Nurjanah: Pemberdayaan UMKM dan Perempuan di Garut Mandek: Kritik dari Srikandi Parahiyangan Berdaya
SONARPOS.COMII-Garut — Ketimpangan antara wacana dan kenyataan dalam program pemberdayaan ekonomi dan hukum perempuan di Kabupaten Garut kembali disorot. Ketua Srikandi Parahiyangan Berdaya, Rika Siti Nurjanah, menilai pemerintah daerah dan lembaga keuangan di Garut masih terjebak pada pola seremonial, tanpa keberpihakan yang nyata terhadap pelaku usaha kecil dan perempuan.
“Kita terlalu sibuk membuat acara, tapi lupa membangun sistem. UMKM perempuan di Garut tidak butuh seremoni, mereka butuh akses, perlindungan, dan pendampingan nyata,” kata Rika dalam pernyataan resminya di Garut, Rabu (8/10).
Rika menegaskan, persoalan utama pemberdayaan UMKM bukan pada minimnya program, tetapi pada absennya keberpihakan kebijakan. Menurutnya, banyak program ekonomi daerah berjalan tanpa koordinasi lintas sektor dan tidak menyentuh akar persoalan: akses pembiayaan, kemampuan manajerial, dan kesetaraan hukum.
Akses Pembiayaan Tersendat, Birokrasi Menghambat
Program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) dan pembiayaan Ultra Mikro (UMi), yang diharapkan menjadi penopang utama ekonomi kecil, disebut Rika masih jauh dari kata inklusif. Banyak pelaku usaha mikro di desa tidak bisa mengakses dana karena tidak memiliki agunan, sementara proses birokrasi di perbankan dinilai rumit dan tidak berpihak.
“Ironis. UMKM disebut tulang punggung ekonomi, tapi untuk sekadar mengajukan pembiayaan mereka harus melompati tembok yang tinggi. Di mana peran pemerintah daerah sebagai fasilitatornya?” ujar Rika.
Ia menilai, Pemkab Garut seharusnya membangun ekosistem pembiayaan daerah yang berpihak kepada masyarakat bawah, bukan hanya menjadi penonton kebijakan pusat.
Pemerintah, katanya, perlu menghadirkan kebijakan afirmatif berupa subsidi bunga daerah, jaminan pembiayaan tanpa agunan untuk usaha mikro, dan regulasi yang melindungi perempuan pelaku usaha dari praktik ekonomi eksploitatif.
Pemberdayaan Hukum Perempuan: Antara Narasi dan Realita, Kritik juga dilontarkan Rika terhadap lemahnya peran pemerintah daerah dalam memberdayakan perempuan di bidang hukum. Kebijakan yang digadang-gadang responsif gender masih sebatas jargon administratif.
“Perempuan korban kekerasan, diskriminasi ekonomi, bahkan pelaku usaha kecil, tidak tahu ke mana harus mencari keadilan. Layanan hukum di tingkat daerah tidak berpihak, tidak peka, dan sering kali tidak hadir,” katanya.
Rika menilai pengarusutamaan gender (PUG) di Garut hanya berhenti pada laporan, bukan pada sistem. Ia menegaskan perlunya pusat layanan hukum dan perlindungan perempuan berbasis kecamatan, dengan dukungan advokat, paralegal desa, dan lembaga pendamping sosial yang memiliki legitimasi hukum.
Perbankan Dinilai Pasif, Hanya Menunggu Nasabah!
Sementara di sisi lain, perbankan dinilai belum memainkan perannya secara aktif.
Menurut Rika, lembaga keuangan di daerah masih berorientasi pada keamanan aset, bukan keberlanjutan ekonomi rakyat kecil.
“Bank seharusnya bukan menunggu, tapi menjemput. Literasi keuangan harus masuk ke kampung-kampung, ke dapur-dapur perempuan pelaku usaha. Di sana ada ekonomi yang hidup, tapi belum tersentuh sistem,” tegasnya.
Rika menyebut perlunya model pembiayaan baru: pembiayaan berbasis komunitas perempuan, supply chain financing untuk usaha rumahan, serta kemitraan antara bank dan organisasi sosial lokal untuk memperkuat literasi keuangan dan digitalisasi usaha kecil.
Politik Pemberdayaan: Antara Kehendak dan Keberanian
Menurut Rika, akar dari semua persoalan ini bukan sekadar lemahnya program, tapi minimnya keberanian politik di tingkat daerah.
Tanpa kemauan politik untuk melindungi kelompok lemah, kata dia, pemberdayaan hanya akan menjadi proyek jangka pendek yang menguap setelah anggaran habis.
“Perempuan Garut tidak butuh belas kasihan, mereka butuh keadilan. Butuh pemerintah yang mau mendengar, bukan sekadar mendata,” ujarnya.
Ia menutup pernyataannya dengan seruan agar pemerintah, perbankan, dan organisasi masyarakat bersinergi dalam sistem yang berkeadilan dan berkelanjutan, bukan sekadar menggugurkan kewajiban laporan kegiatan.
“Pemberdayaan itu proses panjang. Ia butuh komitmen moral, bukan sekadar anggaran,” kata Rika menegaskan.
Tentang Srikandi Parahiyangan Berdaya
Srikandi Parahiyangan Berdaya merupakan gerakan sosial perempuan berbasis masyarakat yang berfokus pada pemberdayaan ekonomi, pendidikan hukum, dan perlindungan perempuan di wilayah Priangan dan Jawa Barat bagian selatan.
Organisasi ini aktif mendorong kebijakan publik yang berpihak pada perempuan dan melakukan pelatihan kewirausahaan, literasi keuangan, serta advokasi hukum bagi perempuan di akar rumput.