
Oleh : Ade Sudrajat
(Ketua Garut Indeks Perubahan Strategis / GIPS)
SINARPOS.COMII-GARUT – Garut Indeks Perubahan Strategis (GIPS) menyoroti tajam kebijakan keuangan Pemerintah Kabupaten Garut yang tertuang dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025.
Dalam analisisnya, GIPS menemukan sejumlah kejanggalan dan anomali yang dinilai berpotensi mencederai prinsip akuntabilitas serta mengancam kesehatan fiskal daerah. Ketua GIPS, Ade Sudrajat, menyebutkan ada empat persoalan utama yang wajib dijelaskan secara terbuka oleh Pemerintah Daerah.
Defisit Melebar dan Ketergantungan pada SiLPA
Ade mengungkapkan, defisit anggaran Garut tahun 2025 melebar cukup signifikan, dari Rp123,8 miliar menjadi Rp165,5 miliar, atau naik sebesar Rp41,7 miliar. Kenaikan itu sepenuhnya ditutup dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya.
“Ketergantungan pada SiLPA ini sudah kronis. Ini bukan pendapatan riil, melainkan sisa dana yang seharusnya jadi penyangga darurat. Kalau terus dipakai menutup defisit, ke depan Pemda bisa kehilangan ruang fiskal,” tegas Ade, Minggu (19/10/2025).
Menurutnya, struktur anggaran yang terus bergantung pada SiLPA menunjukkan perencanaan pendapatan yang tidak efisien dan belum mandiri secara fiskal.
Pergeseran PAD yang Tidak Jelas
GIPS juga mencatat adanya pergeseran mencurigakan dalam pos Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pos Retribusi Daerah berkurang tajam hingga Rp315,48 miliar, namun di sisi lain Lain-lain PAD yang Sah melonjak Rp357 miliar.
“Angka sebesar itu tidak bisa dijelaskan hanya dengan istilah ‘penyesuaian nomenklatur’. Kalau memang ini dampak penerapan UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), seharusnya dijelaskan terbuka. Masyarakat berhak tahu pendapatan jenis apa yang direklasifikasi,” ujar Ade.
Ia mengingatkan, tanpa kejelasan, perubahan tersebut berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pemungutan retribusi dan pajak, serta bisa berdampak pada dunia usaha lokal.
Pemangkasan Dana Darurat (BTT)
Poin kritis lainnya adalah pemangkasan Belanja Tidak Terduga (BTT) sebesar Rp35,3 miliar, sehingga menyisakan hanya Rp45,1 miliar.
Menurut GIPS, langkah itu sangat berisiko bagi daerah rawan bencana seperti Garut. “Setiap tahun Garut menghadapi potensi banjir dan longsor. Dana cadangan darurat malah dipotong. Ini tanda bahwa kebijakan fiskal belum menempatkan kesiapsiagaan bencana sebagai prioritas,” jelas Ade.
Belanja Operasi yang Tidak Efisien
GIPS juga menyoroti lonjakan Belanja Barang dan Jasa (B/J) sebesar Rp168,9 miliar, sementara Belanja Pegawai justru turun.
“Ini patut dicurigai sebagai belanja pegawai terselubung. Banyak kegiatan pegawai yang bisa saja dikategorikan ke belanja barang dan jasa, seperti honorarium atau perjalanan dinas. Kalau benar begitu, laporan efisiensi Pemda menjadi semu,” tegasnya.
Ia meminta DPRD dan BPK turun tangan mengawasi penggunaan anggaran barang dan jasa ini agar tidak terjadi kebocoran atau pengalihan yang menguntungkan segelintir pihak.
Desakan GIPS
Atas temuan tersebut, GIPS mendesak Pemerintah Kabupaten Garut untuk membuka secara transparan seluruh komponen Perda Perubahan APBD 2025 dan melakukan audit publik.
“Tanpa penjelasan terbuka, dokumen ini hanya akan menjadi legalisasi atas defisit yang melebar dan pendapatan yang tidak pasti. Padahal APBD seharusnya menjadi alat perubahan strategis demi kesejahteraan rakyat,” tegas Ade Sudrajat.
Tentang GIPS:
Garut Indeks Perubahan Strategis (GIPS) adalah lembaga independen pemantau kebijakan publik di Kabupaten Garut yang berfokus pada isu transparansi, tata kelola pemerintahan, dan akuntabilitas anggaran.
Dikdik Sodikin, S.H. SINARPOS.COM