
SINARPOS.COM/KATINGAN-Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Dayak (KMHAD) Kabupaten Katingan, pada Senin, 22 Desember 2025 telah melakukan aksi penyampaian pendapat dimuka umum (demonstrasi) di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Katingan agar berkenan meneruskan pendapat, aspirasi sekaligus permohonan Masyarakat Adat Dayak Kabupaten Katingan terkait Penertiban/
Razia Tambang Rakyat oleh Satgas PKH dari Kementerian Energi Sumber Daya
Mineral (ESDM) Republik Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup Republik
Indonesia dan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.
KMHAD Kabupaten Katingan menegaskan MENDUKUNG usaha penambangan
yang dilakukan oleh ribuan warga masyarakat Adat Dayak secara khusus di wilayah Kabupaten Katingan, Provinsi Kalimantan Tengah dan sebelum dilakukannya
sosialisasi, pembinaan dan penataaan kawasan pertambangan, serta kerjasama/ koordinasi yang baik dengan tokoh-tokoh Adat, tokoh Masyarakat terutama unsur Pemerintahan Daerah Provinsi/ Kabupaten MENOLAK dengan tegas Penertiban/
Razia Tambang Rakyat oleh Satgas PKH tersebut diatas karena sejatinya usaha
penambangan tersebut dilakukan diatas tanah Hak Milik Secara Adat Dayak (bukan dilakukan diatas tanah negara). Faktanya tidak ada tanah kosong/ tak bertuan di Katingan, semua ada pemiliknya, kata Erko Mojra selaku salah satu koordinator aksi.
Sehubungan dengan hal tersebut, KMHAD Kabupaten Katingan dengan ini menyatakan pendapat dan sikapnya terkait usaha penambangan rakyat diatas selain dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan perekonomian masyarakat Adat Dayak sekitar. Apabila terjadi penertiban/ razia maka dapat menimbulkan gejolak dan masalah pada bidang ekonomi dan sosial terutama angka kriminalitas akan meningkat sebab masyarakat Adat tidak ada lapangan pekerjaan/usaha.
Bahwa untuk diketahui, Pasal 1 angka 19 Perda Prov Kalteng Nomor 1 Tahun 2010 juncto Pasal 1 angka 12 Pergub Kalteng Nomor 4 Tahun 2012, pada intinya
menyatakan bahwa :
“Tanah adat adalah tanah beserta isinya yang berada di wilayah Kedamangan dan
atau di wilayah desa/kelurahan yang dikuasai berdasarkan hukum adat, baik berupa hutan maupun bukan hutan dengan luas dan batas-batas yang jelas, baik milik perorangan maupun milik bersama yang keberadaannya diakui oleh Damang Kepala Adat”.
Dengan demikian dapat saja dimaknai artinya, jangankan hasil tambang, bahkan cacing yang ada di dalam Tanah Adat Dayak itupun adalah hak milik si pemilik Tanah Adat Dayak.
Bahwa Masyarakat Adat Dayak jelas memiliki Hak milik (termasuk hak milik atas Tanah Adat menurut hukum Adat Dayak) dan hal tersebut dilindungi oleh Konstitusi.
Bahwa Hukum Adat Dayak jelas mengakui adanya Tanah Adat, sehingga dalam hal
ini sudah seharusnya berlaku untuk usaha ini “dimana bumi dipijak, disitu langit
dijunjung”. Ini adalah kearifan lokal yang harus dihargai dan dihormati oleh Negara termasuk aparaturnya, ungkap Erko.
Bahwa nyatanya kewajiban Negara menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya sampai saat ini belum berjalan secara optimal, sehingga tidak ada alternatif lain bagi warganya selain mengelola
Tanah Adat Dayak warisan nenek moyangnya sebagai sumber pekerjaan dan
penghasilannya. Jadi jenis usaha ini seharusnya wajib mendapatkan perlindungan
hukum Adat.
Bahwa berbicara mengenai usaha penambangan oleh masyarakat Hukum Adat
Dayak seharusnya tidaklah bisa dilihat secara parsial namun harus dilihat secara
utuh, terdapat suatu rantai saling berkait yakni terjadinya usaha ini karena adanya Pemilik Tanah Adat Dayak yang setuju lokasi Tanah Adat Dayak nya dilakukan penambangan. Mereka bisa langsung sebagai pekerja atau cukup mendapatkan imbalan/ jasa/ fee sebagai pemilik Tanah Adat Dayak, intinya
mereka mendapatkan hasil. Adanya Pekerja lainnya yang melakukan/ melaksanakan usaha penambangan. Adanya penyedia jasa yang menjual peralatan mesin sedot, penjual BBM,
sembako sampai penyedia jasa pengupasan/ penggalian tanah. Adanya para penampung/ pembeli hasil tambang. Adanya pihak pengusaha yang mengolah hasil tambang tersebut menjadi perhiasan (termasuk adanya pembeli perhiasan/ pengguna perhiasan) dan ada pula yang melakukan pengolahan emas menjadi batangan (blok) dan melakukan
ekspor atas emas atau produk emas ini ke negara lain (Kalteng termasuk daerah
Pengekspor Emas).
Jadi jika hendak menegakkan hukum maka semua pihak tersebut harus pula diusut dan turut ditindak secara hukum karena masing-masing ada keterlibatannya dan jangan pandang bulu, jangan tindak yang satu namun yang lainnya dibiarkan saja. Jika hal ini terus terjadi maka wajar orang akan bertanya, Qou
Vadis keadilan ?
Tadi Ketua DPRD Kabupaten Katingan sudah menyatakan berkenan meneruskan pendapat, aspirasi sekaligus permohonan Masyarakat Adat Dayak Kabupaten Katingan terkait Penertiban/
Razia Tambang Rakyat oleh Satgas PKH dari Kementerian Energi Sumber Daya
Mineral (ESDM) Republik Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup Republik
Indonesia dan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia sehingga diharapkan dengan adanya aksi ini maka penertiban/ razia PETI di Kalteng/ Katingan ditangguhkan terlebih dahulu. ( sur )





