
Ciwidey, Kabupaten Bandung 5 Desember 2025 – Alih fungsi lahan hutan di kawasan Hak Guna Usaha (HGU) PTPN, termasuk di area seperti Gunung Gundul, kembali menjadi sorotan publik. Perubahan fungsi lahan yang mencederai aturan dan merusak ekosistem ini menuntut klarifikasi mengenai pihak-pihak yang bertanggung jawab serta langkah korektif yang harus segera dilakukan. PTPN sebagai pemegang HGU dan pemerintah sebagai regulator memiliki peran sentral dalam persoalan ini.
PT Perkebunan Nusantara (PTPN), sebagai pemegang HGU, memegang tanggung jawab utama dalam memastikan pengelolaan lahan sesuai dengan ketentuan. Kelalaian dalam pengawasan serta pembiaran terjadinya alih fungsi lahan ilegal menjadikan perusahaan plat merah ini harus melakukan pembenahan serius. Manajemen PTPN sebelumnya juga telah mengakui adanya kelemahan dalam pengelolaan di sejumlah kawasan dan berkomitmen untuk memperbaiki diri melalui reboisasi serta peningkatan pengawasan internal.
Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memiliki mandat kuat untuk menetapkan dan menegakkan fungsi kawasan hutan. Namun lemahnya pengawasan dan tindakan hukum terhadap pelanggaran di dalam wilayah HGU perusahaan negara menimbulkan kritik publik. Keterlibatan aktif dan tegas dari KLHK diperlukan agar kejadian serupa tidak terus berulang.
Pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten, turut memiliki peran penting dalam pengawasan tata ruang dan kegiatan di lapangan. Koordinasi yang kurang optimal antara pemerintah pusat dan daerah menjadi salah satu faktor berulangnya pelanggaran di kawasan hulu yang seharusnya menjadi area lindung.
Dari sisi legislasi, DPR melalui Komisi VI dan beberapa komisi terkait telah mendesak PTPN agar membuka identitas pihak-pihak yang terlibat dalam praktik alih fungsi lahan ilegal. DPR juga mendorong evaluasi menyeluruh terhadap seluruh aset dan pola pengelolaan sehingga tindakan korektif dapat dilakukan secara sistemik dan berkelanjutan.
Selain tanggung jawab institusi, keberadaan oknum pelaku di lapangan juga menjadi faktor pemicu. Praktik sewa lahan ilegal dan kerja sama tidak resmi dengan pihak ketiga sering kali berujung pada perubahan fungsi lahan menjadi pertanian tanaman semusim yang merusak struktur tanah. Aktivitas ini meningkatkan risiko erosi dan mengancam stabilitas ekologis kawasan hulu.
Alih fungsi lahan yang tidak terkendali telah terbukti membawa dampak ekologis signifikan. Banjir bandang, tanah longsor, dan degradasi lingkungan adalah ancaman nyata bagi masyarakat di sekitar kawasan tersebut. Kerusakan ini tidak hanya mengganggu keseimbangan alam, tetapi juga membahayakan keselamatan warga.
Menanggapi situasi ini, pemerintah telah melakukan sejumlah langkah seperti penyegelan kawasan yang melanggar aturan, pelaksanaan reboisasi pada lahan kritis, serta evaluasi menyeluruh terhadap kondisi daerah aliran sungai (DAS) yang terdampak. Langkah-langkah ini menjadi fondasi awal untuk pemulihan ekosistem di kawasan hulu.
Secara hukum, alih fungsi lahan tanpa izin merupakan pelanggaran serius. Pelaku dapat dijerat dengan ketentuan dalam UU Kehutanan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang mempertegas larangan aktivitas tertentu, termasuk penanaman sawit dalam kawasan hutan setelah tahun 2020. Penegakan hukum yang tegas dan konsisten menjadi kunci untuk memutus rantai pelanggaran yang sudah berlangsung lama.
Demikian rilis pers ini kami sampaikan sebagai bentuk penegasan atas pentingnya akuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan kawasan hutan. Sinergi antara pemerintah, BUMN, dan masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan lingkungan dan mencegah kerusakan lebih lanjut.**
( Sam Sodikin)






