Membangun Mestinya Tidak Berbasis Pajak dan Utang
Sinarpos.com – Pembangunan infrastruktur di sebuah negara merupakan kemajuan dari sisi ekonomi. Namun, pembangunan tersebut harus diambil dari sumber yang jelas dan halal.
Dikutip oleh SuaraJabar.id – Gubernur Jawa Barat terpilih, Dedi Mulyadi, mengakui adanya utang sebesar Rp 3,4 triliun yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya. Utang yang berasal dari Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) itu digunakan untuk berbagai proyek infrastruktur, termasuk pembangunan Masjid Al Jabbar.
“Mudah-mudahan pendapatan kita ke depan meningkat,” tutur Dedi dilansir sukabumiupdate.com, jaringan suara.com, Kamis (06/02/2025).
Membangun infrastruktur sudah menjadi kewajiban negara, untuk kebutuhan rakyat. Tetapi jika membangun infrastruktur dengan utang, terlebih utang ribawi tentu menjerumuskan. Disamping efek ketergantungan yang tidak ada habisnya, juga keharaman berutang dengan ada ribanya, bukan solusi yang didapatkan, tetapi masalah baru yang menyengsarakan.
Selain dari utang, negeri ini pun membangun infrastruktur dari pajak atas rakyat. Yang mana pungutannya tidak sesuai hukum syara, karena seluruh sektor terkena pajak, bukan hanya ekonomi menengah ke atas, bahkan ekonomi lemah pun terdampak pajak yang tidak sedikit. Hal ini bertentangan dengan hukum syara, karena penguasa sejatinya pengurus dan pelindung rakyat, bukan regulator atas setiap permasalahan yang harus disahkan.
Sungguh ironi, di tengah besarnya potensi ekonomi, tetapi faktanya betapa lemah keuangan negara. Hal ini akibat tidak mandirinya dalam mengelola ekonomi negara, selalu bergantung pada asing, padahal potensi negeri sendiri melimpah ruah kekayaannya. Padahal Rasulullah saw. bersabda: “Umat muslim berserikat dengan tiga perkara, air, padang rumput dan api.” Seluruhnya milik umum yang diperuntukkan untuk seluruh kaum Muslim.
Saat ini, pengelolaan ekonomi dengan sistem kapitalisme salah kaprah, karena tak akan bisa ditemukan kesejahteraan rakyat. Karena ekonomi kapitalisme digerakan oleh para oligarki, yang mana mereka mampu mengendalikan siapapun termasuk penguasa. Kekayaan negara masuk pada kantong-kantong mereka yang mempunyai modal, bukan untuk kesejahteraan rakyat pada umumnya.
Konsep Islam dalam Membangun Ekonomi Negeri
Sumber pendapatan negara jelas, yakni dari kekayaan Alam yang dikelola sendiri, dari jizyah, kharaj, fa’i, jika pun ada dari pajak atau dharibah, yang dipungut hanya orang-orang kaya lelaki, dan ketika baitulmal penuh, pungutan tersebut dihentikan. (Kitab Al-Amwal, Syeikh Taqiyyudin An-Nabhani).
Pembelanjaan Negara meliputi :
Kantor Para pejabat negara, ada penasehat, mu’awin, amirul jihad, gubernur, qadhi, bahkan ada diwan santunan, yang diperuntukkan untuk masyarakat yang kekurangan dan layak mendapatkan santunan. Allah Swt. berfirman :
“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”
(Q.S.9:60)
Begitu pula ada diwan jihad, meliputi pasukan, persenjataan, industri militer. Semua membutuhkan pendanaan untuk kepentingan rakyat. Demikian diwan-diwan keuangan negara secara umum, penunjukan diwan-diwan ini berdasarkan hadits Rasulullah saw. ketika beliau menunjuk para juru tulis. Rasulullah saw sudah melakukan aktivitas management dalam berbagai urusan keuangan. Ayat dan hadits di atas yang membolehkan harta anfal, ghanimah, fa’i, jizyah, kharaj, dan menjadikannya hak kaum muslim. Dan dalil di atas pun menunjukkan kewajiban zakat dan peruntukannya, kepada siapa saja disalurkannya, juga menunjukkan harta milik umum, semua ini menunjukkan dengan penunjukan yang meniscayakan (dalil Iltizam) akan kebolehan membentuk cara administratif yang dengannya harta diambil, disimpan, dicatat, dihitung, dibelanjakan. Cara tersebut merupakan cabang dari perkara pokok. Pembentukan dan pengadopsian diwan-diwan administrasi telah terjadi di masa kepemimpinan Islam terdahulu. (Kitab Al-Amwal, Syeikh Taqiyyudin An-Nabhani).
Wallahu a’lam bishshawab
Oleh : Sumiati (Pendidik Generasi)
Eksplorasi konten lain dari SINARPOS.com
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.