
Sinarpos.com
Medan – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Medan selaku kuasa hukum ibu korban penganiayaan Sertu Riza Pahlivi menduga majelis hakim yang menangani perkara MHS melanggar kode etik dan Pedoman perilaku hakim sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Bersama antara Mahkamah Agung RI dan Komisi Yudisial RI Nomor: 04/KMA/SKB/IV/2000 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Akibatnya, ibu korban mengadukan Hakim Letkol.ZS sebagai Hakim Ketua, Mayor IZ dan Mayor HW masing-masing sebagai Hakim Anggota ke Komisi Yudisial RI dan Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung RI pada Kamis, 6 November 2025.
Hal itu dikemukakan Direktur LBH Medan Irvan Syahputra didampingi stafnya Richard S.D. Hutapea dalam siaran persnya diterima awak media, Senin (10/11/2025)
Menurut Irvan, putusan sangat ringan itu diduga melanggar prinsip-prinsip berprilaku Adil, Arif dan Bijaksana dan Profesional.
Dijelaskannya, berkaca dari putusan kasus MHS dan beberapa kasus- kasus lainnya seperti MAF, penyerangan warga si biru-biru yang juga diputus ringan dan tidak memberikan keadilan, maka sepatutnya secara hukum LBH Medan mendesak Mahkamah Agung untuk mencopot kepala Pengadilan Militer I-02 Medan dan Pemerintah untuk melakukan Reformasi Peradilan Militer.
LBH Medan menduga tindakan Terdakwa diduga telah melanggar Pasal 76c jo Pasal 80 Ayat (3) Undang Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Tidak hanya itu perbuatan tindakan terdakwa telah bertentangan dengan UUD 1945, KUHPidana, UU HAM, DUHAM dan ICCPR, CRC tentang konvensi hak atas anak.Sebelumnya putusan Pengadilan Militer I/02 Medan melalui Majelis Hakim Letkol.ZS sebagai Hakim Ketua, Mayor IZ dan Mayor HW masing-masing sebagai Hakim Anggota dalam Perkara Register No: 67-K/PM.I-02/AD/VI/2025 pada tanggal 20 Oktober 2025, menyatakan Terdakwa Sertu Riza Pahlivi secara sah dan menyakin bersalah melakukan kealpaan/kelalaian yang menyebabkan matinya orang lain.
Majelis hakim menghukum Terdakwa dengan 10 bulan Penjara dan memberikan restitusi kepada ibu korban. Putusan majelis hakim justru melukai rasa keadilan Lenny Damanik yang merupakan ibu kandung MHS (15 Tahun) dan masyarakat.
Pasca mendengar putusan hakim, Lenny Damanik tidak kuasa menahan tangis. Lenny juga tidak mendapatkan keadilan untuk kedua kalinya dikarenakan putusan hakim Pengadilan Militer I-02 Medan yang sangat ringan.
Keluarga korban yang mendengar putusan Majelis hakim, seketika histeris dan menangis, karena Terdakwa hanya dijatuhi hukuman 10 bulan penjara. Bahkan mengatakan “Kalau begitu hukumanya maka akan membunuh semua orang”.
Keluarga korban menduga adanya Kejanggalan dalam putusan _a quo_. Ketika majelis hakim dalam pertimbangan menyatakan tidak ditemukan jejak/ bekas luka pada tubuh korban.
Padahal tertuang dalam Putusan Jejak tersebut ditemukan dibagian Perut korban, dan terdapat luka di kening korban diakibatkan jatuhnya korban dari rel ke bawah jembatan yang tingginya sekitar 2 meter.Kejanggalan putusan semakin jelas ketika pertimbangan hukum lainnya menyatakan jika Terdakwa tidak melakukan penyerangan terhadap korban.
Padahal menurut keterangan dari Saksi a.n. Ismail Syahputra Tampubolon yang melihat langsung jika korban diserang dan akibatnya terjatuh di sela rel.
Keterangan Ismail selaras dengan keterangan saksi Naura Panjaitan yang mengatakan jika ada terjadi pemukulan yang mengakibatkan seorang anak terjatuh di bawah rel.
Namun dikarenakan Naura Panjaitan meninggal dunia sehingga tidak dapat dihadirkan dalam persidangan.Secara hukum kejanggalan kasus MHS terlihat jelas ketika Sertu Riza Pahlivi tidak ditahan sejak proses penyidikan dan penuntutan.
Padahal perbuatan terdakwa telah menyebabkan kematian anak dibawah umur.Tidak hanya itu, Oditur Militer melalui Letkol M. Tecki Waskito, SH.,MH yang seharusnya memperjuangkan keadilan terhadap korban hanya menuntut terdakwa 1 tahun penjara.
Ibu korban menilai tuntutan Oditur Militer sangat tidak sebanding dengan perbuatan Terdakwa. Bahkan tuntuta nya sangat jauh dari acaman hukuman 15 Tahun Penjara.
(ard)






