
Sinarpos.com
Medan – Pemprov Sumut membentuk Satgas Anti Mafia Tanah serta pembentukan Tim Inventarisasi Konflik Agraria. Ini dilakukan untuk menyelesaian konflik agraria yang masih menjadi persoalan serius di berbagai kabupaten/kota di Sumut.
“Termasuk sejumlah langkah strategis lainnya. Antara lain pembentukan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), mendorong penyelesaian batas desa dan kelurahan,” kata Asisten Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat Setdaprov Sumut Basarin Yunus Tanjung dalam temu pers di kantor Gubernur Sumut.
Menurut Basarin, Sumut merupakan salah satu provinsi dengan jumlah konflik agraria tertinggi di Indonesia.
“Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), terdapat 133 kasus konflik di Sumut yang mencakup sekitar 34 ribu hektare lahan dan berdampak terhadap lebih dari 11 ribu kepala keluarga,” katanya.
Konflik agraria, kata dia, umumnya terjadi antara masyarakat dengan perusahaan yang memegang hak konsesi seperti Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), maupun Hak Pengelolaan Lahan (HPL).
“Permasalahan timbul karena proses pelepasan lahan dari masyarakat ke perusahaan tidak dilakukan secara transparan dan adil. Selain itu, tumpang tindih kepemilikan tanah akibat perpindahan hak yang tidak jelas juga memperparah situasi,” kata Basarin Yunus.
Basarin menyinggung sejarah panjang persoalan tanah di Sumut yang berakar sejak masa kolonial Belanda tahun 1870, khususnya di wilayah perkebunan pantai timur. Saat itu, tanah-tanah milik para sultan diberikan sebagai konsesi kepada perusahaan Belanda.
Sementara itu, di wilayah pantai barat dan pegunungan Bukit Barisan, tanah merupakan hak ulayat masyarakat adat yang digunakan untuk pertanian.
Basarin mencontohkan salah satu penyelesaian konflik agraria yang berhasil dilakukan Pemprov Sumut di Desa Mbal-Mbal Petarum, Kecamatan Lau Baleng, Kabupaten Karo.
Di wilayah tersebut, masyarakat yang sebelumnya mengelola lahan penggembalaan mengalihfungsikan lahan menjadi area pertanian seluas 682 hektare.
“Penyelesaian dilakukan melalui penetapan dalam Perda Kabupaten Karo, serta diterbitkannya Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang memberikan hak pengelolaan hutan kemasyarakatan seluas 182 hektare kepada 39 kepala keluarga,” katanya.
(ard)