
Sinarpos.com – Generasi Z (Gen Z) kembali mencuri perhatian. Banyaknya pelajar yang terlibat dalam aksi demostrasi, serta aspirasi yang ramai disuarakan masyarakat di media sosial belakangan ini, telah mencerminkan cara generasi Z merespons tekanan.
Psikologi Anak dan Remaja, Anastasia Satriyo, M.Psi., Psikolog, menilai Gen Z memiliki mekanisme tersendiri dalam menghadapi tekanan, yang berbeda dengan generasi sebelumnya. Menurutnya Gen Z memiliki mekanisme otak yang lebih maju dibandingkan generasi sebelumnya, mulai dari Boomer, Gen X, hingga Milenial.
Generasi Boomer umumnya bertahan dengan mekanisme fight, yakni mengandalkan otoritas dan kekuasaan, atau fawn, yaitu cenderung patuh secara berlebihan. Sementara itu, Gen X dan Milenial lebih sering terbawa pola fight or flight atau menghindar demi rasa aman. Sedangkan Gen Z secara psikologis sudah mampu menggunakan mekanisme face dimana respons face membuat seseorang mampu membela diri dengan cara sehat, berani terlibat dan menyuarakan pendapat, menetapkan batas dengan jelas, tetap terhubung dengan orang lain secara emosional.
Respons face menjadikan pelakunya mampu melindungi diri, mengurangi risiko, dan menyampaikan kebutuhannya tanpa harus menyakiti diri sendiri maupun orang lain. Alih-alih melakukan destruktif, Gen Z memilih berbicara dengan cara khas mereka, yakni menggunakan media sosial, meme, poster kreatif, hingga estetika visual (kompas.com 4/9/25).
Berbicara soal generasi artinya sedang berbicara potensi perubahan. Memasuki usia produktif, fisik yang yang kuat telah memunculkan semangat juang dalam melakukan perubahan. Potensi tersebut semestinya ada dalam setiap generasi muda. Namun apakah betul setiap generasi punya klasifikasi khusus dalam menyuarakan perubahan? Bagaimana seharusnya generasi menyuarakan perubahan?
Manusia sejak awal penciptannya telah diberikan potensi untuk bergerak melakukan perubahan. Potensi tersebut ada didalam naluri baqa (mempertahankan diri) yang telah Allah Swt karuniakan dalam setiap diri manusia. Sehingga adanya perlawanan dalam menolak kedzaliman serta kebutuhan akan solusi untuk menghilangkan kedzaliman adalah perkara yang wajar ada dalam setiap individu manusia.
Perlu dicermati, adanya pengklasifikasian karakteristik generasi pada Gen Z berdasarkan ilmu psikologi, dimana Gen-Z mempunyai cara mempertahankan nilai dan identitas dengan meminimalkan eskalasi konflik adalah pengklasifikasian yang diarahkan agar sesuai dengan mindset kapitalisme yakni membentuk generasi yang tidak memiliki kesadaran politik.
Kapitalisme telah membentuk karakter Gen Z menjadi pemuda yang berorientasi materi dalam hidupnya. Mereka menjadikan kebebasan finansial sebagai capaian mutlak dalam hidup. Berbagai peluang mereka optimalkan demi menghasilkan cuan.
Akibatnya, nilai materi menjadi aspek dominan dalam hidup Gen Z saat ini. Segala sesuatu, termasuk kesuksesan hidup dan standar baik buruk, dinilai dengan materi. Nilai ruhiyah terpinggirkan, selaras dengan agenda moderasi yang diaruskan penguasa untuk menjauhkan pemuda muslim dari Islam kaffah.
Para pemuda muslim pun terjebak gaya hidup sekuler. Tren pergaulan bebas, throning (kencan untuk menaikkan status sosial), kohabitasi (kumpul kebo), zina, waithood (sengaja menunda-nunda menikah demi menikmati kebebasan), dan childfree (pasangan resi yang tidak mau punya anak) marak dikalangan pemudah muslim. Fakta tersebut merupakan gambaran kerusakan generasi yang sangat parah. Gen Z dirusak hingga kehilangan jati dirinya sebagai muslim dan menjadi manusia yang berorientasi ekonomi semata.
Disisi lain Gen Z tidak mendapatkan pendidikan politik yang benar. Sehingga mereka tidak mampu menganalisis penyebab mendasar terjadinya banyak persoalan yang melanda negeri, meski pemimpin telah berulang kali berganti.
Berbagai persoalan yang ada, mulai dari maraknya Gen-Z bunuh diri, kemiskinan, pengangguran, korupsi, perampasan ruang hidup rakyat, penyerahan pengelolaan kekayaan alam kepada swasta dan asing, utang luar negeri yang menggunung, hingga berkuasanya oligarki, tidak juga menemukan solusi tuntas.
Sekalipun Gen Z dinilai memiliki kepedulian cukup tinggi, namun kepedulian mereka tidak mampu membawa perubahan. Sebab mereka tidak memiliki kerangka berpikir yang benar tentang makna politik yang sahih. Mereka hanya mendapatkan dogma-dogma politik demokrasi yang menipu, yakni mengatasnamakan rakyat untuk kepentingan segelintir orang yang sedang berkuasa dan para pengusaha di belakangnya.
Gen Z sebagai generasi muda harus menyadari bahwa keadilan tidak akan lahir dari sistem demokrasi yang zalim. Perubahan yang dilakukan haruslah mengarah kepada melenyapkan akar masalah yang menyebabkan realitas buruk dan menggantinya dengan sistem yang berasal dari Allah SWT. Kesadaran seperti inilah yang harus dimunculkan di tengah pemuda sehingga gerakan perubahan yang terjadi mengerucut pada perubahan mendasar, tidak sekedar mengulangi kesalahan yang dilakukan sebelumnya.
Potensi pada diri pemuda merupakan fitrah manusia, Islam mengharuskan pemenuhannya sesuai dengan tuntunan syarak, bukan tuntunan psikologi. Gen Z memiliki potensi besar yang penting bagi perubahan dunia dari karut-marut persoalan yang diakibatkan kapitalisme. Sebagai penduduk asli dunia digital, mereka terbiasa melakukan interaksi lintas negara sehingga memiliki perspektif dan jangkauan global. Mereka piawai menggunakan teknologi digital dan memanfaatkannya untuk mengaruskan perubahan di tengah masyarakat dunia. Potensi ini mendukung Gen Z untuk menjadi calon pemimpin peradaban global.
Potensi Gen Z ini harus diarahkan untuk mewujudkan perubahan hakiki menuju solusi sahih, yaitu Islam ideologis. Caranya adalah membekali para pemuda dengan akidah Islam dan ilmu pengetahuan yang penting untuk mengoptimalkan potensi mereka. Pembentukan kepribadian Islam dan kesadaran politik Islam perlu dilakukan agar terlahir para pemuda yang siap menjadi motor perubahan hakiki. Waalahuallam bishawab
Oleh : Eva Hana (Pendidik)