
Sinarpos.com – Di sebuah reruntuhan rumah di Gaza, seorang anak kecil memeluk tubuh ibunya dengan erat sambil bertanya “Bu, kenapa suara bom itu tidak pernah berhenti?”, matanya penuh ketakutan.
Sang ibu menarik napas panjang. Ia menatap ke langit yang penuh asap, lalu berkata lirih, “Nak, itu suara dari mereka yang ingin mengambil tanah kita. Tapi jangan takut, Allah selalu bersama kita.”
Hari itu, dunia kembali menyaksikan genosida di Gaza. Perdana menteri Israel memerintahkan pasukannya untuk merebut seluruh kota Gaza, bahkan memaksa penduduk Gaza mengungsi (Republika, 20/8/2025). Bom dijatuhkan tanpa ampun. Dukungan politik dari Amerika, terutama Donald Trump, membuat Zionis semakin berani.
Namun, di balik kesunyian doa yang menembus langit, dunia pun tidak tinggal diam. Dari berbagai negeri, orang-orang berkumpul. Mereka menjual harta, mengumpulkan donasi, dan berlayar dengan misi Sumud Flotilla. Armada itu menantang blokade Israel, membawa bantuan untuk rakyat Gaza. Mereka berkata lantang, “Kalau penguasa bungkam, biarlah kita rakyat yang bergerak!” (RRI, 27/7/2025).
Di sebuah forum kecil, seorang pemuda Indonesia bertanya kepada gurunya, seorang ustaz yang berambut putih.
“Ustaz, sampai kapan Gaza begini? Kita hanya bisa kirim doa dan uang. Apakah itu cukup?”
Sang ustaz menatapnya lekat-lekat. “Nak, doa itu penting. Uang itu perlu. Tapi apakah itu menghentikan penjahatnya? Kita menolong korban, tapi membiarkan perampok tetap merajalela. Bukankah itu artinya penderitaan akan terus berulang?”
Pemuda itu terdiam. Ia sadar, luka Gaza tidak akan bisa sembuh jika hanya di perban, sementara peluru terus menembaki tubuh yang lain.
Seorang jurnalis internasional menulis dalam laporannya, “Dunia sudah terlalu banyak mengeluarkan resolusi. Tapi Israel tidak peduli. Mereka melanjutkan genosida dengan tenang.”
Di sisi lain, pemimpin Arab malah sibuk mempertahankan kursi mereka. Usulan embargo minyak ditolak. Perbatasan tetap ditutup. Gaza dibiarkan berdarah.
“Empat hal membuat Gaza terus menderita, yakni negara muslim terpecah, PBB lemah, donasi hanya bertahan dalam jangka pendek, dan tidak adanya solusi jangka panjang. Ungkap tokoh Islam, Nida Fadlan. Semua ini bukti dunia gagal memberi jalan keluar.” (22/8/2025).
Cahaya Solusi dari Islam
Suatu sore, di majelis ilmu, seorang ulama berdiri. Suaranya bergetar, namun penuh keyakinan.
“Saudaraku, Gaza tidak butuh air mata kita saja. Gaza butuh darah pejuang. Allah sudah memerintahkan: Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian (QS Al-Baqarah: 190).”
Ia melanjutkan, “Sejarah membuktikan. Umar bin Khaththab membebaskan Palestina dengan pasukan Islam. Shalahuddin al-Ayyubi membebaskannya dengan jihad. Bukan dengan donasi, bukan dengan konferensi.”
Para hadirin terdiam. Ada yang menangis. Ada yang mengepalkan tangan. Seolah ruh jihad itu kembali menyala.
Ratusan ulama mengadakan konferensi di Turki menyerukan dunia Islam bersatu untuk menghentikan agresi Israel. (21/8/2025).
Namun, seorang ulama muda bangkit dengan suara lantang, “Wahai saudaraku, konferensi ini tidak boleh hanya berhenti pada seruan politik. Syariat sudah jelas. Allah memerintahkan jihad. Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya imam (khalifah) adalah perisai. Umat berperang di belakangnya dan berlindung dengannya. (HR Muslim).”
Ia menambahkan, “Gaza tidak butuh simpati tanpa aksi. Gaza butuh sosok pemimpin yang mengirim pasukan, senjata, dan logistik untuk menghancurkan Zionis.”
Seorang pemuda yang mendengar seruan itu berkata dalam hatinya, “Kalau begitu, tugas kita adalah menuntut para penguasa agar mengirim militer. Dan jika mereka enggan, maka umat harus berjuang menegakkan satu kepemimpinan Islam. Hanya itu satu-satunya perisai umat.”
Kata-kata itu bagai petir di siang bolong. Kesadaran ini mengguncang jiwa, menuntut umat bangkit dari kelalaian.
Gaza sudah terlalu lama menunggu. Setiap detik, darah anak-anak tumpah. Dunia gagal menolong. Umat Islam sudah diberi modal: tentara, senjata, dan jumlah besar. Hanya satu yang kurang yaitu kepemimpinan Islam.
Saat umat bersatu dengan ideologi Islam, batas negara bangsa runtuh. Umat akan menjadi satu tubuh. Gaza pun akan kembali bebas, seperti saat Umar dan Shalahuddin membebaskannya.
Penutup
Di Gaza, seorang ibu kembali memeluk anaknya yang terus gemetar. Ia berbisik lembut, “Nak, jangan takut. Mereka bisa hancurkan rumah kita, tapi tidak iman kita. Kelak, tentara Allah akan datang. Janji Allah itu pasti.”
Langit Gaza mungkin masih merah. Tapi cahaya kemenangan sudah menanti. Yang dibutuhkan hanyalah umat yang sadar, ulama yang berani, dan pemimpin yang rela menjadi perisai. Karena janji Allah tak pernah dusta.
Oleh: Ummu Fahhala, S. Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)