
Sinarpos.com – Jelang 80 tahun merdeka, Indonesia terus menghadapi problem yang sama. Delapan kali kepemimpinan berganti tak kunjung menemukan solusi tepat dalam menyelesaikan masalah. Akibatnya sebagian besar warga kecewa terhadap kinerja pemerintah. Kekecewaan ini mendorong terbentuknya gerakan di media sosial yang menyerukan pengibaran bendera bajak laut One Piece jelang HUT RI ke 80. Bendera dengan gambar tengkorak dan tulang bersilang ini dikibarkan oleh sebagian masyarakat sebagai bentuk perlawanan terhadap keadaan sosial dan politik yang ada ( tempo.co 4/8/25 ).
Dalam sejarah dunia, simbol One Piece digunakan untuk menandakan peringatan akan bahaya atau ancaman. Sehingga pengibaran bendera One Piece di Indonesia, sebagian melihatnya sebagai simbol perlawanan terhadap apa yang dianggap ketidakadilan atau ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah saat ini.
Tak ada yang mau hidup dalam kesulitan, terlebih sulitnya hidup terang-terangan karena banyak kebijakan yang dibuat demi kepentingan para elite bukan rakyat. Rakyat terus tercekik oleh kedzaliman struktural, mirip dengan sistem dunia dalam cerita One Piece yang penuh korupsi dan penindasan.
Namun protes rakyat melalui simbol One Piece tak cukup untuk merubah keadaan Indonesia kelam menjadi lebih baik. Rakyat harus menyadari bahwa sumber masalah Indonesia adalah penerapan sistem Kapitalisme.
Kapitalisme dengan sistem demokrasinya melahirkan kecacatan hukum, sebab hukum yang berlaku adalah hukum yang dibuat oleh manusia. Halal -haram bukan standar penilaian, tetapi semuanya dilihat dari segi manfaat. Sehingga dampaknya, hukum akan berubah-ubah sesuai kepentingan para pembuatnya serta manfaat materi yang mereka lihat. Wajar saja banyak hukum yang diputar-balikan, benar menjadi salah dan perkara salah menjadi benar. Selagi ada modal, hukum dapat diperjualbelikan.
Dalam demokrasi, kebebasan adalah pilar pokoknya, sekularisme adalah urat nadinya, dan kedaulatan ditangan rakyat adalah asas pemikirannya. Dari tiga aspek ini, lahirlah UU buatan manusia yang sarat kepentingan manusia, baik politik, individu, bahkan asing.
Tak heran demokrasi banyak melahirkan para pejabat dengan “prestasi” yang buruk. Banyak UU yang dibuat namun tidak mampu menyolusi permasalahan rakyat dan negara.
Sebaliknya publik banyak menjumpai praktek politik oligarki, UU sengaja dibuat untuk memuluskan kepentingan oligarki. Padahal Sumber Daya Alamnya melimpah, namun rakyatnya semakin susah. Oligarki bebas mengeksploitasi dengan jaminan hukum yang melindungi.
Sistem demokrasi gagal menghasilkan kader-kader partai yang bersih. Banyak anggota parpol yang menjadi wakil rakyat terjerat kasus korupsi. Dalam rangka mengembalikan modal politik, tak jarang pejabat pemerintah terlibat dalam pusaran korupsi berbagai proyek negara.
Sistem demokrasi juga gagal dalam menjamin kesejahteraan. Fakta menunjukkan angka kemiskinan tak kunjung mereda, sedangkan kesenjangan ekonomi semakin nyata. Orang kaya makin bertambah kekayaan, sementara orang miskin bertambah kesengsaraannya.
Dalam aspek keadilan, terang-terangan hukum tajam kebawah dan tumpul ke atas. Jangan berharap mendapatkan keadilan jika tak punya modal. Rakyat harus menerima kenyataan pahit daripada harus berurusan dengan hukum yang tak mungkin berpihak pada mereka.
Dalam hal kemandirian, kebijakan impor berbagai komoditas menunjukkan negara ini benar-benar terikat dan tunduk pada kepentingan kapital global. Dengan dalil kerja sama antarnegara, pemerintah leluasa membuka investasi asing terhadap berbagai proyek strategis negara.
Berbeda dengan demokrasi, Islam telah menempatkan hukum pada posisi yang benar.
Pertama, kedaulatan berada di tangan syarak. Islam memerintahkan ketundukan dan ketaatan sepenuhnya hanya pada Allah SWT dalam setiap aspek kehidupan.
Sedangkan manusia tidak berhak membuat aturan dan hukum sendiri dalam menyelesaikan problematika kehidupan.
Allah SWT berfirman ; “Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan terbaik” (Qs. Al-an’am :57).
Larangan manusia dalam membuat hukum inilah yang menjamin tidak akan ada hukum dan perundang-undangan yang terjebak politik kepentingan, serta menjamin kepastian hukum karena hukum Islam bersifat baku dan tidak berubah.
Kedua, tidak ada kebebasan mutlak dalam Islam. Standar perbuatan seorang hamba haruslah terikat dengan syariat Islam. Mengikuti pedoman dan petunjuk dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Keterikatan ini berlaku atas setiap individu muslim, baik pejabat maupun rakyat biasa. Adanya kesadaran individu bahwa ia terikat dengan syariat inilah yang akan melahirkan ketaatan total, dan mampu mewujudkan kepemimpinan amanah.
Perayaan delapan puluh tahun kemerdekaan ditengah Indonesia yang semakin kelam. Semestinya mendorong kita untuk bergerak meninggalkan demokrasi yang sudah jelas kerusakan dan kebobrokannya.
Tak sekedar simbolik peringatan, Indonesia butuh sistem dan pemimpin yang baik untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan. Tak cukup hanya pemimpin baik karena bisa menjadi buruk, jika berada dalam habitat sistem yang buruk.
Sistem yang baik lahir dari sumber Zat Yang Maha baik, yaitu Allah SWT dengan sistem Islamnya yang berhasil membawa manusia pada tingkat kemuliaan dan hadirnya menebar Rahmat bagi seluruh alam.
Oleh : Eva Hanna S.Si ( Pendidik )