
Sinarpos.com – Sore itu, langit Desa Sindangrasa meremang keemasan. Angin semilir berembus di antara pohon-pohon hanjuang yang berdiri tenang. Di bawahnya, Raka duduk bersila di sisi Abah Rukman, sang kakek yang dihormati sebagai sesepuh kampung. Denting bambu dari kejauhan melantun samar, menambah syahdu percakapan mereka.
“Bah, kenapa kita nggak ikut-ikutan ngejar tambang emas kayak kampung sebelah?” tanya Raka lirih.
Abah tersenyum, menatap cucunya dalam-dalam. “Nak, emas itu bisa bikin silau. Tapi silau yang menyesatkan, lebih berbahaya dari gelap.”
Raka mengernyit. “Maksud Abah?”
“Kalau kita hanya kejar emas, kita bisa lupa batas halal-haram. Kalau budaya yang kita hidupkan pun tak sesuai tuntunan, itu juga bisa sesatkan kita,” jawab Abah tenang.
Beberapa hari sebelumnya, di tengah gegap Sunda Karsa Fest 2025, Gubernur Jabar Dedi Mulyadi menyampaikan pandangan lantang, bahwa peradaban sejati lahir dari budaya, bukan dari perut bumi. Ribuan orang menyambut pernyataan itu, diiringi tarian, musik, dan simbol-simbol tradisi.
Namun, di balik gemerlap itu, Raka mulai gelisah.
“Bah, katanya budaya bisa jadi kekuatan bangsa. Tapi apa semua budaya itu baik?” tanyanya.
Abah menatap langit, lalu berkata, “Budaya bukan tentang apa yang diwariskan, tapi tentang apa yang dilestarikan. Kalau budaya itu bertentangan dengan syariat, maka ia bukan warisan mulia, tapi jebakan zaman.”
Peradaban yang hanya mengandalkan budaya lokal tanpa saringan syariat adalah bangunan rapuh. Islam tidak menolak budaya, tapi mengarahkannya. Budaya yang memperlihatkan aurat, mempertontonkan kesyirikan, atau menghidupkan kemaksiatan bukanlah kekayaan, melainkan kemunduran yang dibungkus seni.
“Kalau budaya dijadikan alat syiar yang selaras dengan Islam, maka ia jadi kekuatan. Tapi kalau jadi ajang hura-hura, itu bukan bangkit tapi tenggelam,” lanjut Abah.
Farid Gaban, seorang pengamat budaya, pernah berkata bahwa budaya tumbuh dari tanah dan hidup dalam hati manusia. Namun tanpa tuntunan wahyu, hati bisa tertipu oleh kebiasaan.
Maka, membangkitkan budaya harus dengan kunci: syariat sebagai timbangan.
Islam memuliakan budaya yang sesuai fitrah dan syariat. Seperti bahasa daerah yang dijaga, seni yang membangun ruhiyah, dan tradisi yang menumbuhkan ukhuwah. Tapi Islam juga menolak budaya yang menjauhkan manusia dari Allah, sekalipun itu dianggap kearifan lokal.
Raka mulai mengerti. “Jadi, Bah, bukan budayanya yang salah, tapi arahnya?”
“Betul, Nak. Budaya harus dituntun, bukan dituhankan. Kita bukan penjaga warisan nenek moyang semata. Kita adalah khalifah yang menjaga bumi dengan aturan Allah.”
Islam memberikan teladan. Rasulullah saw. membiarkan budaya yang tidak bertentangan dengan Islam tetap hidup, bahkan memperkuatnya. Tapi beliau juga tegas menghapus budaya jahiliah yang bertentangan dengan tauhid, meski sudah mengakar dalam masyarakat Arab.
Di masa Umar bin Khattab, tambang dan tanah dikelola negara untuk kemaslahatan umat. Pendidikan, dakwah, dan pengembangan peradaban dibiayai dari hasilnya. Budaya tumbuh dalam sistem yang adil dan berpijak pada tauhid, bukan kapitalisme.
Karena itu, ketika negara menjadikan budaya sebagai “komoditas pariwisata”, tapi abai terhadap aturan Allah, maka yang lahir bukan kebangkitan—melainkan pembusukan.
Raka menatap cakrawala. Di kejauhan, suara anak-anak mengaji terdengar dari langgar bambu.
“Bah, aku ingin bangkitkan kampung ini. Tapi bukan dengan tari-tarian. Aku ingin hidupkan Islam dalam budaya.”
Abah menoleh, senyumnya merekah. “Kalau begitu, jangan hanya hidupkan kampungmu. Hidupkan syariat di setiap napas kehidupanmu, Nak.”
Penutup
Jawa Barat memang sedang bergerak. Tapi arah geraknya harus tegak lurus dengan Islam. Budaya bukan sekadar ekspresi. Ia harus menjadi cermin iman dan adab. Ketika budaya selaras dengan syariat, ia bukan hanya indah tapi menjadi jalan menuju peradaban yang hakiki.
Peradaban yang bukan dibangun di atas panggung dan festival, tapi di atas ketaatan dan keadilan. Di sinilah lumbung emas itu akan berubah menjadi lumbung peradaban Islam yang mencerahkan dunia.
Oleh: Ummu Fahhala, S. Pd.(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)