
Sinarpos.com – Pagi itu, Pak Darman membuka warungnya lebih awal dari biasa. Di tengah tumpukan mi instan dan rak beras yang makin kosong, ia duduk termenung. “Katanya negeri ini panen keberhasilan,” gumamnya pelan, “tapi kenapa yang kecil tetap saja tak kebagian manisnya?”
Pak Darman bukan pejabat. Ia juga bukan akademisi. Tapi dari warung kecil di pinggir jalan kampung, ia bisa merasakan sesuatu yang tak beres sedang terjadi di negeri ini. Harga bahan pokok melonjak, bantuan kadang tak sampai, dan kebijakan terasa jauh dari kehidupan nyata.
Beberapa hari lalu, ia mendengar Presiden Prabowo berbicara di televisi. Presiden menyebut soal bahaya besar yang mengintai negara: state capture, kolusi antara kapital besar, pejabat pemerintahan, dan elite politik. Kolusi ini, kata Presiden, tidak membantu menurunkan kemiskinan atau memperkuat kelas menengah.
Pak Darman mengangguk-angguk pelan. Ia tidak paham istilah rumit, tapi ia tahu rasanya diabaikan. Ia juga membaca berita tentang kasus Wilmar Group yang diduga terlibat korupsi besar-besaran senilai Rp 118 triliun. Ia kembali bergumam, “Uang sebanyak itu, kalau dibagikan ke rakyat, bisa jadi sekolah, jalan, bahkan rumah sakit.”
Saat Uang Bicara, Suara Rakyat Tersingkir
Pak Darman sering mendengar bahwa demokrasi adalah suara rakyat. Tapi di warungnya, yang ia dengar justru suara uang. Ia melihat calon pemimpin sibuk pasang baliho, bagi kaus, dan kampanye besar-besaran. Ia tahu itu butuh dana besar.
Tapi ia juga tahu, uang itu tidak datang sendiri. Ada yang memberi, tentu ada yang akan menagih.
Ia mulai paham, mengapa banyak kebijakan terasa tak berpihak. Penguasa sering kali terikat janji dengan pemodal. Dan ketika sudah duduk di kursi kekuasaan, mereka harus “membayar” kembali dalam bentuk proyek, izin usaha, atau regulasi khusus.
Pak Darman tidak menyalahkan siapa pun. Ia hanya ingin sistem ini berubah. Ia ingin pemimpin yang benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk membalas budi.
Islam Memberi Arah yang Berbeda
Suatu malam, di pengajian kampung, Pak Darman mendengar kisah Umar bin Khattab. Seorang pemimpin yang begitu takut pada Allah, sampai-sampai merasa bertanggung jawab jika seekor keledai mati karena jalan berlubang di Irak.
Ustaz di pengajian menjelaskan bahwa dalam Islam, kekuasaan adalah amanah, bukan alat untuk memperkaya diri. Negara Islam dibangun di atas akidah yang kuat, sehingga pemimpinnya takut melakukan korupsi. Islam juga punya sistem sanksi yang tegas dan adil. Tak ada tebang pilih.
Pak Darman tertegun. Ia membayangkan, bagaimana jika sistem itu diterapkan hari ini? Pemimpin dipilih bukan karena uang, tapi karena kemampuan. Pejabat bekerja bukan karena tekanan, tapi karena tanggung jawab kepada Allah.
Bukan Menyalahkan, Tapi Mengajak Berbenah
Pak Darman tidak marah kepada pemerintah. Ia tahu, banyak pejabat yang juga bekerja keras untuk negeri. Ia hanya ingin mengajak berpikir lebih dalam. Apakah sistem hari ini sudah cukup melindungi rakyat? Apakah suara uang lebih lantang dari suara hati nurani?
Ia yakin, perubahan tidak datang dari kekesalan, tapi dari kesadaran. Jika kita semua sadar, bahwa sistem yang adil dan bersih bisa dibangun, maka harapan itu bukan mimpi. Islam, kata ustaz di pengajian, bukan hanya agama, tapi panduan hidup yang bisa mengatur segalanya—termasuk negara.
Di warung kecilnya, Pak Darman kembali melayani pelanggan. Tapi kali ini dengan hati yang penuh harap. Harap bahwa suatu hari nanti, rakyat kecil tidak lagi hanya jadi penonton. Mereka ikut menentukan arah negeri, dengan sistem yang benar, dan pemimpin yang amanah.
Oleh: Ummu Fahhala, S.Pd.
(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)