
Sinarpos.com – Pada suatu sore yang tenang, seorang anak muda duduk bersama kakeknya di teras rumah bercengkrama. Sambil bercengkerama dan menikmati teh hangat, mereka membicarakan berita kunjungan Presiden Prancis ke Indonesia yang disambut meriah oleh para pejabat tinggi, seperti yang baru saja ditayangkan di televisi.
Anak muda itu bertanya dengan raut bingung, “Kakek, bukankah negara itu pernah melarang hijab dan menerbitkan gambar yang menghina Nabi Muhammad? Mengapa pemimpinnya disambut begitu hangat seolah-olah tidak ada yang terjadi?”
Kakek itu tersenyum tipis, lalu menjawab, “Pertanyaanmu baik, Nak. Apa yang kamu lihat hari ini adalah potret dari dunia yang sering kali menilai segala sesuatu dari keuntungan, bukan dari kebenaran.”
Mengapa Sikap Tegas Terlihat Redup?
Islamofobia bukan sekadar kata. Ia adalah kenyataan yang dialami oleh jutaan umat Muslim di berbagai belahan dunia. Simbol-simbol Islam dilarang, Nabi Muhammad saw., Al-Qur’an dilecehkan dan stigma bahwa Islam adalah ancaman, semua itu bukan hal baru.
Di tengah luka itu, ketika tokoh dari negara yang pernah menyakitkan perasaan umat datang berkunjung, yang terlihat justru sambutan meriah. Bahkan kerja sama ekonomi menjadi tajuk utama, tanpa satu pun pernyataan yang menyinggung soal luka lama yang belum sembuh.
Islam Mengajarkan Keseimbangan: Adil, tetapi Tegas
Islam bukan agama yang mengajarkan permusuhan tanpa alasan. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. memerintahkan umat-Nya untuk berbuat baik kepada siapa pun, termasuk yang berbeda keyakinan, selama mereka tidak memerangi karena agama.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama…” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Namun, ketika ada pihak yang terang-terangan memusuhi Islam, maka Allah Swt. mengingatkan umat untuk tidak menjadikannya sebagai sahabat dekat.
“Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai teman orang-orang yang memerangimu karena agama…” (QS. Al-Mumtahanah: 9)
Ini bukan ajakan untuk membenci, melainkan seruan untuk bersikap bijak dan waspada. Islam menuntun umatnya untuk menilai suatu hubungan bukan hanya dari sisi manfaat dunia, tetapi juga dari kesetiaan pada prinsip dan akidah.
Pentingnya kesadaran umat untuk kembali memahami prinsip-prinsip Islam dalam bersikap terhadap dunia. Bahwa bersikap terbuka tidak berarti mengorbankan harga diri. Bahwa menghormati tamu tidak harus melupakan sejarah.
Belajar dari Teladan Sejarah
Rasulullah Saw. dan para sahabatnya bukan hanya pemimpin spiritual, tetapi juga negarawan yang bijaksana. Ketika Romawi dan Persia sebagai dua kekuatan besar dunia saat itu memusuhi Islam, beliau tidak tinggal diam. Beliau menyampaikan surat, membangun pertahanan, dan menjaga wibawa umat.
Ketegasan Khalifah Umar bin Khattab terlihat saat dihadapkan pada kekuatan militer besar. Tanah Palestina tidak dijual oleh Sultan Abdul Hamid II dari Turki Utsmani meskipun ditawari oleh Theodore Hertzl imbalan harta yang sangat besar, karena beliau tahu, tanah itu amanah dari umat Islam, bukanlah komoditas.
Refleksi
Melihat kondisi dunia saat ini, kita mungkin merasa kehilangan arah. “Teknologi boleh maju, dunia boleh berubah, tetapi nilai-nilai agama harus tetap dijaga. Jangan biarkan kita menjadi umat yang mudah melupakan. Jadilah seperti poho, yang akarnya kuat menghujam, tetapi dahannya terbuka untuk siapa saja yang datang dengan damai.” Islam bukan hanya soal kepercayaan, tetapi juga soal sikap.
Oleh : Ummu Fahhala(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)