
Sinarpos.com – Pagi itu, di sebuah tenda kecil di perbatasan Rafah, seorang pemuda bernama Ahmad memandangi gerbang besar yang terkunci rapat. Di tangannya tergenggam sebuah poster bertuliskan “Global March to Gaza – Buka Blokade, Selamatkan Gaza”. Bersamanya, puluhan relawan dari berbagai negara berkumpul, membawa harapan yang sama, untuk membuka jalan bagi bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Namun harapan itu seolah terhempas. Mesir menutup pintu gerbang. Aparat bersenjata berdiri menghalangi. Puluhan aktivis dari mancanegara terpaksa mundur. Bukan karena lemah, tetapi karena batas negara yang tidak bisa mereka tembus. Batas buatan manusia yang lebih kuat daripada panggilan hati nurani.
*Nasionalisme: Sekat Buatan yang Mematikan Kepedulian
Dari kejadian itu, Ahmad sadar satu hal. Betapa pun besar niat dan semangat kemanusiaan yang dibawa ribuan orang dalam Global March to Gaza (GMTA), semua itu bisa kandas hanya karena sekat bernama nasionalisme dan konsep negara bangsa. Gerakan kemanusiaan ini, yang awalnya diharapkan mampu mengetuk hati dunia, justru dibenturkan pada tembok tinggi bernama “kepentingan politik nasional”.
Ahmad bertanya dalam hati, mengapa saudara seiman tak bisa saling menolong bebas melintasi batas seperti di masa dahulu? Mengapa Mesir, negeri Muslim, malah menutup jalan bagi bantuan untuk rakyat Gaza? Mengapa tentara Muslim menjaga perbatasan agar saudaranya sendiri tak bisa masuk membantu?
Pertanyaan Ahmad bukan tanpa dasar. Sejarah umat Islam dahulu tak mengenal batas-batas ini. Di masa Rasulullah Saw., para sahabat, dan pemimpin Islam setelahnya, umat Islam bersatu dalam satu kepemimpinan. Tentara dari Madinah bisa berjalan ke Syam, ke Palestina, ke Mesir, tanpa izin khusus atau penghalang dari perbatasan negara. Semua karena mereka diikat oleh satu kepemimpinan Islam, satu visi mulia, yakni menolong sesama Muslim di mana pun berada.
Kini, keadaan itu berubah. Nasionalisme membuat negeri-negeri Muslim terpecah-pecah. Masing-masing mementingkan urusan sendiri. Mesir sibuk menjaga stabilitas dalam negerinya. Turki menjaga kawasan sendiri. Indonesia mengirim bantuan kemanusiaan yang terbatas lewat jalur diplomatik. Semua terikat sistem yang memisahkan, bukan menyatukan.
Ahmad mengingat sebuah pelajaran lama dari sejarah Islam. Ketika Romawi mengancam Palestina, pasukan Islam dari berbagai wilayah datang membebaskan negeri itu di bawah pimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Umat Islam bebas bergerak sebagai satu tubuh, tanpa ada sekat negara bangsa. Hasilnya, Palestina pun terbebas.
Ahmad pun berpikir, bukankah inilah yang hilang dari umat Islam saat ini? Bukan karena kurang peduli. Bukan karena tak mau membantu. Tetapi karena sistem dunia hari ini mengajarkan nasionalisme yang memisahkan umat, menghalangi mereka bertindak sebagai satu kesatuan.
Seorang dosen senior di kampus Ahmad pernah berkata, “Nasionalisme lahir dari proyek politik Barat untuk memecah kekuatan umat Islam. Inilah warisan penjajahan yang masih kita pelihara.” Dosen itu mengutip buku John Mearsheimer dan ceramah Noam Chomsky yang mengkritik sistem dunia buatan Barat. Mereka, walau bukan Muslim, mengerti bahwa dunia ini dikendalikan oleh kepentingan negara adidaya, bukan nurani kemanusiaan.
Solusi Islam: Kembali pada Persatuan Umat
Tiba-tiba Ahmad teringat sebuah ayat Al-Qur’an yang sering ia dengar, “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 92)
Ayat ini menegaskan bahwa umat Islam harusnya bersatu, tanpa sekat negara bangsa. Rasulullah SAW pun telah memberi teladan. Di Madinah, beliau memimpin beragam suku dan bangsa menjadi satu umat. Tidak ada batas buatan yang memisahkan.
Ahmad membayangkan, andai umat Islam kembali bersatu di bawah satu kepemimpinan, mungkin gerbang Rafah tak perlu lagi dikunci. Mungkin bantuan bisa masuk tanpa hambatan. Mungkin tentara Muslim justru berdiri di sana untuk melindungi rakyat Gaza, bukan mencegah saudara sendiri lewat.
Tapi Ahmad juga sadar, perubahan besar tak lahir dari mimpi kosong. Dibutuhkan gerakan politik yang konsisten, ideologis, dan global. Gerakan yang tak terjebak nasionalisme. Gerakan yang berani menyeru umat untuk kembali kepada Islam secara kaffah, bukan sekadar aksi simpatik sesaat, dalam memperjuangkan kembali tegaknya kepemimpinan Islam.
Ahmad menghela napas. Di hadapannya, gerbang Rafah masih tertutup rapat. Tapi di dalam hatinya, gerbang kesadaran mulai terbuka. Ia sadar, solusi kemanusiaan tak cukup. Harus ada solusi politik berbasis Islam. Solusi yang bisa menyatukan umat, menembus batas buatan, dan membebaskan Palestina secara hakiki.
Ahmad pun melangkah pulang, dengan tekad baru. Untuk menyampaikan kesadaran ini kepada siapa pun yang mau mendengar. Karena pembebasan Gaza bukan hanya urusan Palestina. Ini adalah urusan umat Islam sedunia. Dan jalan satu-satunya adalah kembali kepada Islam sebagai sistem kehidupan, bukan sekadar identitas belaka.
Oleh: Ummu Fahhala, S.Pd.(Praktisi Pendidikan dan Pegiat Literasi)