Polemik Raja Ampat, Merusak Negeri Demi Ambisi Ekonomi?

Sinarpos.com

Sinarpos.com Analisis Drone Emprit, mengungkap 95 persen sentimen warganet terhadap isu tambang nikel di Raja Ampat bersifat negatif, ditengah beradarnya narasi Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, yang menyatakan bahwa informasi pencemaran lingkungan akibat aktivitas tambang di Raja Ampat adalah hoaks.

Memang publik tak sepenuhnya percaya dengan narasi itu, sebab bertahun-tahun masyarakat telah dipertontonkan jejak panjang kerusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh industri ekstraktif seperti tambang emas di Papua, batu bara di Kalimantan, hingga nikel di Sulawesi. Selama itu pula luka ekologis terus menganga, luka yang ditutup dengan izin, tapi telanjang di hadapan data.

Namun ketidakpercayaan publik ternyata tak mampu menghentikan pemerintah untuk tidak memberikan izin operasional pada perusahaan penambang nikel. Dari kelima perusahaan yang dimaksud meliputi PT Gag Nikel, PT Kawei Sejahtera Mining, PT Anugerah Surya Pratama, PT Mulia Raymond Perkasa serta PT Nurham. Hanya PT Gag Nikel, yang sahamnya dimiliki oleh PT Anek Tambang Tbk. atau Antam sebagai satu-satunya perusahaan nikel di daerah tersebut yang izinnya tida dicabut oleh pemerintah (kabar24.bisnis.com 13/06/25)

Bahlil mengatakan PT Gag Nikel tetap diizinkan beroperasi karena pemerintah menilai perusahaan ini telah melakukan tata kelola limbah yang baik sesuai analisis mengenai dampak lingkungan hidup (Amdal) (tempo.co 11/06/25).

Kerusakan Raja Ampat nyata, mengapa pemerintah terus menyangkal?, publik terus bertanya ada apa dengan ini semua?

Ternyata Pemerintah memang punya ambisi untuk menjadi produsen baterai kendaraan listrik yang ditargetkan masuk sebagai lima besar negara produsen baterai kendaraan listrik terbesar didunia pada 2040.

Investasi di sektor minerba termasuk nikel menjadi salah satu senjata Indonesia untuk mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8% serta target investasi mencapai 16,75% periode 2024—2029. Untuk mendukung Asta Cita Presiden Prabowo, target investasi 2025 adalah sebesar Rp1.095 triliun (tempo.co 11/06/25 ).

Lonjakan produksi ini tak lepas dari kebijakan pemerintah Indonesia yang melarang ekspor bijih nikel mentah. Kebijakan tersebut mendorong percepatan investasi di sektor hilirisasi, dengan pembangunan fasilitas pengolahan yang kian masif di dalam negeri.

Soal keadilan ekologis, pengakuan hak masyarakat adat yang telah menjaga laut dan karangnya selama ratusan tahun, serta keberlanjutan generasi, tak ada guna sebab nilai investasi jauh lebih berharga dimata negara.

Fakta diatas semestinya mampu membuka mata publik untuk memandang lebih jauh lagi. Kerusakan Raja Ampat bukan sekedar adanya aktivitas penambangan yang dilindungi undang-undang, namun keberadaan sistem Kapitalisme yang menjadi akar persoalan lahirnya manusia serakah, dan abainya pemerintah dalam melindungi jagat raya.

Ambisi pemerintah terhadap nikel harus dibayar dengan ekploitasi SDA secara ugal-ugalan. Larangan ekspor bijih nikel mentah yang katanya menjadi angin segar bagi kedaulatan ekonomi nasional, ternyata merusak lingkungan dan mengorbankan masyarakat lokal.

Segelintir orang yang mendapat keuntungan, sedangkan rakyat tertimpa kemalangan adalah niscaya dalam sistem kapitalisme. Negara hanya berperan sebagai fasilitator yang memberi ruang pengelolaan SDA kepada individu atau perusahaan yang dilegalkan UU.

Akibatnya peran penguasa semakin mandul, sebab penguasa kapitalis akan selalu memihak para pemilik modal, serta membela kepentingan mereka. Sedangkan rakyat dibiarkan terkena dampak, nasibnya hanya digantungkan pada bansos. Akhirnya pengusaha sejahtera, rakyatnya semakin sengsara.

Sebagai masyarakat yang sadar adanya ketidakadilan dan situasi yang semakin buruk, tentu tak boleh berdiam diri. Kita membutuhkan sistem Islam, sistem yang terbukti secara empirik mampu menciptakan kehidupan yang harmoni dan penuh berkah, baik antar manusia dengan sesamanya atau manusia dengan alam semesta.

Islam menetapkan SDA adalah milik umum yang harus dikelola negara dan hasilnya dikembalikan untuk rakyat. Dalilnya adalah sabda Rasulullah Saw. “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Perserikatan dimaknai sebagai perserikatan dalam pemanfaatan, semua boleh memanfaatkannya. Artinya tidak boleh dikuasai oleh seseorang atau sebagian saja, sementara sebagian yang lain dihalangi/dilarang.

Dengan cara ini, negara mampu membiayai kebutuhan negara dan rakyatnya secara mandiri, sebab pengelolaan kekayaan alamnya tidak dihilirisasi, melainkan dikelola sendiri oleh negara.

Islam juga menetapkan wajibnya menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan, Allah SWT. Berfirman yang artinya, “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (TQS Al-A’raf :56).

Berbicara masalah yang terjadi di Raja Ampat, syariat telah memberikan batasan yang jelas agar kekayaan alam beserta biodiversitas didaerah itu terjaga kelestariannya.

Secara alamiah, ekosistem hutan memiliki fungsi hidrologis, produsen oksigen, agregator tanah, dan pencegah erosi. Sementara ekosistem laut secara alamiah memiliki fungsi sebagai habitat bagis jutaan spesies laut, pengatur iklim global, sumber makanan bagi manusia, dan berperan sebagai siklus hidrologi. Maka agar fungsi ekosistem tersebut tidak hilang, harus ada mekanisme konservasi alam, baik untuk ekosistem hutan maupun ekosistem laut.

Konsep konservasi dalam islam dikenal sebagai “hima”. Praktek hima dilakukan pada harta milik umum yang dilindungi oleh negara.

Dalam Islam ada aturan mengenai tanah atau kawasan tertentu yang dilindungi disebut tanah Hima atau tanah yang dilindungi oleh negara. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dari Sha’bi bin Jutsamah yang berkata: “Tidak ada hima (proteksi) kecuali (hal itu) merupakan hak Allah dan Rasul-Nya ”. (HR al-Bukhari).

Maksud dari dalil tersebut adalah tidak ada penguasaan (hima) kecuali negara Khilafah. Allah dan Rasul-Nya telah meng-hima tanah milik umum untuk keperluan jihad, orang-orang fakir, miskin serta untuk kemaslahatan manusia secara keseluruhan.

Secara af’al ( perbuatan), Rasulullah saw sebagai kepala negara di Madinah, pernah melakukan hima dan para Khalifah setelah beliau juga mempraktekkan hal yang sama. Yakni menetapkan sebagian harta yang termasuk milik umum dengan cara tertentu, sebagai kawasan khusus. Rasulullah meng-hima wilayah tertentu di daerah sekitar Madinah. Dari Nafi’, dari Ibnu Umar Radhiyallahu’anhu diriwayatkan bahwa ia berkata :

“Rasulullah SAW pernah meng-hima daerah Naqi” (suatu tempat berair yang terletak 20 farsakh dari kota Madinah) untuk unta-unta kaum muslim. Khalifah Abu Bakar radhiyallahu’anhu juga pernah meng-hima padang rumput untuk mengembalakan unta-unta zakat. Beliau memperkerjakan maula beliau, Abu Salamah untuk mengurus padang rumput tersebut.

Khalifah Umar bin al-khaththab Radiyallahu’anhu juga pernah meng-hima padang rumput pada bagian yang tinggi, dan memperkerjakan Hunaiy untuk menjaga dan mengatur tempat tersebut.

Menjaga kelestarian alam, mengatur wilayah untuk di-hima, tidak memberi izin swasta mengelola tambang hanya dapat terlaksana dengan penerapan sistem Islam secara sempurna. Wallahualam bissawab.

Oleh : Eva Hana S.Si ( Pendidik Generasi)