
SINARPOS.com – Jakarta, 17 Mei 2025 || Kasus perceraian seorang anggota TNI AD dari Batalyon Infanteri Para Raider 503/Mayangkara, yang viral di media sosial, kini tengah menjadi sorotan tajam berbagai elemen masyarakat, aktivis hukum, Tokoh dan mahasiswa.
Perceraian yang diajukan oleh oknum prajurit TNI berinisial HR, disebut-sebut penuh kejanggalan dan dugaan pelanggaran hukum yang serius.
Gugatan cerai tersebut dikabulkan oleh Pengadilan Agama Mojokerto pada 14 Februari 2023, tanpa kehadiran tergugat, Ny. Ruth Yohanes — istri sah dari HR.
Anehnya, alamat yang digunakan dalam proses pemanggilan diduga palsu, sehingga surat panggilan sidang tidak pernah sampai kepada pihak tergugat.
Hal ini memunculkan dugaan rekayasa administrasi yang berpotensi mencederai prinsip keadilan dan integritas peradilan.
Aksi Solidaritas: Kolaborasi Lintas Elemen Masyarakat
Tim Khusus (Timsus) yang terdiri dari Ketua LBH Dr. Bernard, mahasiswa Fakultas Hukum UKI seperti Debby Grace Siagian, bersama Komunitas Rock Bike KONI Pusat, Dansatgasus Atlet Sepeda, PPWI (Persatuan Pewarta Warga Indonesia), DPP GAKORPAN, LBH Pers Presisi, serta tokoh nasional seperti Bunda Tiur Simamora, menyuarakan keprihatinan atas kasus ini.
Mereka menggelar gerakan solidaritas nasional dengan tajuk: “No Viral, No Justice. No Action, No Attention”, mendesak transparansi, keadilan, dan penegakan hukum atas dugaan pelanggaran prosedur dalam perceraian tersebut.
“Miris! Ada upaya sistematis untuk menyingkirkan istri sah lewat jalan belakang hukum. Ini bukan hanya kasus keluarga, ini sudah masuk ranah pelanggaran HAM dan penyalahgunaan kekuasaan,” tegas Prof. Dr. Wilson Lalengke, tokoh pers nasional dan keluarga dari Ny. Ruth Yohanes.
Prof. Wilson yang juga alumni Lemhannas RI PPRA-48 tahun 2012 menyebutkan bahwa penggunaan alamat palsu dalam dokumen gugatan menjadi pintu masuk utama permainan licik ini.
“Ini bukan soal gugatan cerai biasa. Ini upaya sistematis, seolah-olah hukum bisa dibeli dan direkayasa. Jika pemanggilan dilakukan tidak ke alamat yang sah dan benar, maka keputusan pengadilan tersebut cacat hukum dan batal demi hukum,” tegasnya.
Debby Grace Siagian, mahasiswa hukum UKI, menambahkan bahwa tidak adanya pemanggilan sah kepada tergugat menyalahi prinsip keadilan formal dan materiil yang dijamin dalam sistem hukum Indonesia.


“Pengadilan seharusnya memverifikasi keberadaan tergugat dengan serius. Jika benar ada pemalsuan alamat, maka ini merupakan pelanggaran berat,” tegasnya.
Dugaan KDRT dan Penelantaran Istri dan Anak
Dalam perkembangan selanjutnya, keluarga Ruth Yohanes mengungkap bahwa alasan istri tidak berada di asrama kesatuan bukan karena kabur, melainkan karena menghindari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dilakukan oleh HR. Bukti dugaan KDRT bahkan disebut telah disampaikan ke pihak berwenang.
“HR bukan hanya menceraikan secara licik, tapi juga meninggalkan anak hasil perkawinan tanpa tanggung jawab. Ini bukan prajurit, ini pecundang!” tegas Bunda Tiur Simamora, Ketua Srikandi PPPA-PPO Pejuang 45, sambil mengecam keras perilaku HR.
Sampai saat ini, pihak kesatuan Yonif Para Raider 503/Mayangkara belum memberikan klarifikasi resmi.
Namun, pada tahun 2023, Pasi Intel kesatuan sempat menghubungi Ny. Ruth Yohanes via WhatsApp dan menyatakan bahwa perceraian adalah urusan pengadilan, bukan kesatuan.
BACA JUGA : Ibu Tiur Simamora dan Tim Investigasi Hukum GAKORPAN 08 Desak Penegakan Hukum dalam Sengketa Tanah di Bogor
“Lho, ini makin aneh. Bagaimana bisa pengadilan ‘mengajukan’ gugatan cerai? Yang gugat itu HR, dan pengadilan seharusnya hanya memproses sesuai hukum acara, bukan menjadi pihak aktif,” ujar Prof. Wilson.
Dalam pernyataan bersama, para tokoh yang terlibat mendesak Presiden RI H. Prabowo Subianto, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, dan KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak untuk membuka mata atas kasus ini dan segera mengusut dugaan pelanggaran kode etik, penyalahgunaan wewenang, serta kemungkinan KKN yang mencederai institusi TNI.
“Institusi TNI adalah simbol kehormatan dan korsa. Jangan biarkan oknum seperti HR mencoreng nama besar prajurit,” tutur Prof. Dr. Henry Jayadi Pandiangan, Dekan FH UKI, yang juga merupakan paman dari Ny. Ruth Yohanes.
Elemen masyarakat, Aktivis dan tokoh menyerukan agar Mahkamah Agung, Komnas Perempuan, KPAI, Komnas HAM, dan Kementerian PPPA segera mengambil langkah hukum untuk membatalkan putusan cerai yang cacat prosedur ini, serta memberikan perlindungan hukum kepada Ny. Ruth Yohanes dan anaknya.
“Jika hukum masih berpihak pada kebenaran, maka proses ini harus diulang, dengan pemanggilan sah dan adil. Dan jika terbukti ada rekayasa, maka pelaku harus dihukum,” pungkas Dr. Bernard.
Kasus ini menjadi potret buram hukum di negeri ini: ketika hukum tak dijalankan secara adil, rakyat kecil menjadi korban.
BACA JUGA : Desakan Keadilan: Tuntaskan dan Adili Mafia Tanah yang Menyengsarakan Rakyat Kecil
“Kami tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan,” tegas Bunda Tiur.
(Tim Redaksi – Dr. Bernard, Bunda Tiur, Rusman Pinem | Jurnalis Nasional PPWI)